Marius Gunawan – Forest & Environmental Expert IWGFF

 

Di tengah dunia yang semakin gencar mempromosikan energi terbarukan atau green energy, ironisnya justru muncul kekhawatiran baru. Energi hijau yang digadang-gadang sebagai solusi terhadap polusi dan perubahan iklim berpotensi menimbulkan kerusakan pada hutan alam yang seharusnya menjadi benteng pertahanan utama dalam menanggulangi efek rumah kaca. Salah satu sumber energi terbarukan yang kini menjadi tren adalah pelet kayu atau biomassa. Meskipun dianggap sebagai energi bersih dan ramah lingkungan, jika tidak dikelola dengan baik, produksinya justru bisa mengancam kelestarian hutan alam di Indonesia dan berbagai belahan dunia.

 

Biomassa: Energi Hijau yang Mendunia

Pelet kayu, atau yang sering disebut sebagai biomassa, telah digunakan di berbagai negara sebagai sumber energi terbarukan. Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara Eropa adalah beberapa konsumen terbesar biomassa. Pada 2020, Jepang mengonsumsi sekitar 2,9 juta ton pelet kayu, sementara Korea Selatan mencapai 3,8 juta ton. Di Eropa, penggunaan pelet kayu sebagai energi terbarukan terus meningkat, dengan total konsumsi mencapai lebih dari 28 juta ton pada 2020, dipimpin oleh negara-negara seperti Inggris, Jerman, dan Swedia.

Indonesia, sebagai salah satu negara dengan potensi sumber daya alam yang melimpah, telah ikut ambil bagian dalam industri biomassa ini. Saat ini, Indonesia tengah mengembangkan produksi pelet kayu, yang sebagian besar diekspor ke negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ekspor pelet kayu Indonesia mencapai lebih dari 500 ribu ton per tahun, dengan target untuk terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan global.

 

Potensi Besar Produksi Pelet Kayu di Indonesia

Dengan luasnya hutan dan ketersediaan sumber daya alam, Indonesia bertekad menjadi produsen besar pelet kayu. Selain menggunakan limbah kayu yang sebelumnya tidak memiliki nilai ekonomis, beberapa tanaman cepat tumbuh seperti Kaliandra Merah dan Akasia juga dijadikan bahan dasar untuk produksi pelet kayu. Pemerintah dan swasta pun mulai menggalakkan pembentukan Hutan Tanaman Energi (HTE), yakni kawasan perkebunan yang dikhususkan untuk menanam tanaman-tanaman yang akan dijadikan biomassa.

Menurut data dari KLHK, sejak 2015 hingga 2023, izin Hutan Tanaman Energi di Indonesia terus meningkat secara signifikan. Pada 2023 saja, tercatat ada lebih dari 50 izin baru yang dikeluarkan untuk perusahaan-perusahaan yang ingin membuka HTE di berbagai provinsi, seperti Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi.

 

Ironi di Balik Hutan Tanaman Energi

Namun, di balik potensi ekonomi ini, terdapat masalah serius yang harus segera diantisipasi: penebangan hutan alam untuk membuka lahan bagi Hutan Tanaman Energi. Dengan dalih untuk menanam tanaman penghasil pelet kayu, beberapa perusahaan justru melakukan land clearing di hutan alam. Ini adalah preseden yang mengingatkan pada peristiwa sebelumnya ketika hutan alam dibabat untuk membuka lahan bagi Hutan Tanaman Industri (HTI).

Hutan tropis Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati sering kali digantikan oleh hutan monokultur yang hanya berisi satu jenis tanaman. Monokultur ini tidak hanya mengurangi keanekaragaman hayati, tetapi juga membuat ekosistem hutan menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan perubahan iklim. Lebih parahnya lagi, ada beberapa kasus di mana setelah hutan alam ditebang, lahan tersebut tidak ditanami tanaman industri atau energi yang dijanjikan, meninggalkan hutan yang rusak dan terdegradasi.

Sebuah laporan dari Global Forest Watch pada 2020 mengungkapkan bahwa Indonesia kehilangan sekitar 270.000 hektar hutan primer setiap tahun, dengan sebagian besar lahan tersebut dialihkan untuk berbagai keperluan industri, termasuk Hutan Tanaman Energi. Ini adalah ironi besar: green energy, yang seharusnya membantu menanggulangi perubahan iklim, justru berkontribusi pada perusakan hutan alam yang menjadi kunci penyerapan karbon dioksida dan perlindungan keanekaragaman hayati.

 

Mengapa Ini Terjadi Lagi?

Fenomena ini terjadi karena adanya kebijakan yang kurang ketat dan lemahnya pengawasan terhadap implementasi Hutan Tanaman Energi. Beberapa perusahaan yang mendapatkan izin HTE memanfaatkan celah hukum untuk mengekspansi lahan mereka tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan jangka panjang. Minimnya koordinasi antara kementerian dan lembaga terkait juga memperburuk situasi ini.

Selain itu, insentif ekonomi yang besar dari pasar global biomassa mendorong perusahaan-perusahaan untuk mengutamakan profit daripada keberlanjutan lingkungan. Perusahaan lebih fokus pada produksi jangka pendek tanpa memikirkan dampak ekologi dari tindakan mereka, yang pada akhirnya mengorbankan hutan alam yang seharusnya dilindungi.

 

Apa yang Harus Dilakukan?

Agar green energy tidak justru merusak hutan alam, diperlukan langkah-langkah pencegahan yang lebih serius dan sistematis. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:

Pengetatan Regulasi dan Pengawasan: Pemerintah harus memperketat regulasi terkait pembukaan Hutan Tanaman Energi dan memastikan bahwa setiap perusahaan yang mendapatkan izin benar-benar menanam tanaman yang dijanjikan. Pengawasan lapangan juga harus ditingkatkan agar tidak ada perusahaan yang menyalahgunakan izin untuk menebang hutan alam.

Evaluasi Lingkungan yang Lebih Ketat: Sebelum mengeluarkan izin, pemerintah perlu melakukan evaluasi dampak lingkungan yang lebih komprehensif dan transparan. Hutan alam yang memiliki nilai konservasi tinggi harus dijaga dan tidak boleh dialihkan menjadi Hutan Tanaman Energi.

Promosi Teknologi Ramah Lingkungan: Selain biomassa, ada banyak bentuk energi terbarukan lainnya seperti tenaga surya dan angin yang tidak membutuhkan lahan besar atau merusak hutan. Pemerintah dan sektor swasta harus mulai mengalihkan investasi mereka ke sumber energi yang lebih bersih dan benar-benar ramah lingkungan.

Penerapan Sanksi Tegas: Perusahaan yang melanggar aturan dan terbukti merusak hutan alam harus dikenakan sanksi tegas, termasuk pencabutan izin usaha dan denda yang signifikan. Ini akan memberikan efek jera bagi perusahaan lain agar tidak melakukan pelanggaran serupa.

Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat: Penting bagi masyarakat untuk memahami dampak dari Hutan Tanaman Energi yang tidak dikelola dengan baik. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat, diharapkan akan ada tekanan lebih besar kepada pemerintah dan perusahaan untuk menerapkan praktik yang lebih bertanggung jawab.

Green energy, khususnya biomassa, menawarkan potensi besar bagi Indonesia dalam menghadapi krisis energi dan perubahan iklim. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, justru bisa menjadi bumerang yang menghancurkan hutan alam kita. Pemerintah, perusahaan, dan masyarakat harus bekerja sama untuk memastikan bahwa produksi energi terbarukan tidak dilakukan dengan mengorbankan hutan yang memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem bumi. Energi hijau sejati adalah yang tidak hanya bersih, tetapi juga berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan tempat kita hidup. ***MG

 

Sumber bacaan:

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) – Data resmi mengenai ekspor pelet kayu Indonesia dan pertumbuhan Hutan Tanaman Energi (HTE) di Indonesia.

Global Forest Watch – Laporan mengenai deforestasi hutan primer di Indonesia dan dampaknya terhadap keanekaragaman hayati. (www.globalforestwatch.org)

International Renewable Energy Agency (IRENA) – Laporan tentang penggunaan biomassa sebagai sumber energi terbarukan di negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Eropa. (www.irena.org)

European Pellet Council – Data konsumsi pelet kayu di Eropa, termasuk negara-negara dengan penggunaan terbesar seperti Inggris, Jerman, dan Swedia. (www.pelletcouncil.eu)

Forest Watch Indonesia (FWI) – Laporan mengenai dampak penebangan hutan alam dan konversi menjadi Hutan Tanaman Industri dan Energi di Indonesia. (www.fwi.or.id)

FAO (Food and Agriculture Organization) – Laporan tahunan mengenai produksi dan penggunaan biomassa global. (www.fao.org)

WWF Indonesia – Analisis mengenai dampak perkebunan monokultur terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan tropis. (www.wwf.or.id)

 

Artikel selengkapnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *