RINGKASAN EKSEKUTIF

Dalam dua dekade terakhir, pembangunan yang menargetkan pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan isu lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) dengan segala implikasinya telah mendapat banyak sorotan. Praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab telah mengancam sumber daya alam dengan dampak negatif yang ditimbulkan dari proses pembangunan ekonomi konvensional.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 5 Desember 2014 telah meluncurkan Sustainable Finance Road Map. Road map ini berisi paparan rencana kerja program keuangan berkelanjutan untuk industri jasa keuangan yang berada di bawah OJK, yaitu perbankan, pasar modal, dan industri keuangan nonbank (IKNB). Setelah itu OJK menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik.

POJK ini juga merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup, termasuk kebijakan yang peduli terhadap lingkungan hidup dan sosial di bidang perbankan, pasar modal, dan IKNB. Penyusunan Pedoman LST Batu Bara ini diharapkan memperkuat penerapan prinsip kehati-hatian LJK dalam penyediaan pendanaan di sektor batu bara

Fokus pedoman ini adalah memberikan informasi pendukung bagi LJK dalam mengelola berbagai dampak tidak langsung LST dari sektor batu bara serta membantu LJK dalam melakukan pertimbangan dan membuat keputusan atas sebuah transaksi

Sebagai salah satu komoditas tambang, batu bara memiliki tempat yang penting dalam perekonomian dan struktur energi di Indonesia. Di satu pihak, batu bara menyumbang bagi pendapatan negara melalui ekspor. Di pihak lain, batu bara masih menjadi sumber utama energi listrik nasional. Dengan cadangan yang diperkirakan akan habis dalam kurun 35 tahun mendatang, sudah sewajarnya perlu ada strategi dalam kebijakan energi nasional, apalagi dengan adanya Persetujuan Paris tentang Perubahan Iklim

Pada 24 Oktober 2016, Persetujuan Paris (Paris Agreement) diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change atau UNFCCC)

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), ada sejumlah rencana aksi kegiatan yang dimandatkan oleh Perpres yang terkait dengan batu bara kepada Kementerian ESDM untuk ditindaklanjuti menjadi kebijakan nasional, yang tentu akan berdampak pada industri batu bara. Salah satu point pentingnya ialah Mengendalikan produksi batu bara maksimal sebesar 400 juta ton mulai 2019

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, proses bisnis terbagi atas eksplorasi (penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan) dan eksploitasi (konstruksi, penambangan, pengolahan pemurnian, pengangkutan, penjualan), dan pedoman ini memasukkan aspek pascatambang (post-mining) sebagai salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam proses bisnis minerba, artinya pembiayaan LJK tidak hanya melingkupi perusahaan pemilik izin tambang, tetapi juga semua industri pendukung dari pertambangan batu bara (supply chain).

Kegiatan sektor industri batu bara tidak hanya menguntungkan dari segi sosial dan ekonomi, tetapi juga memiliki trade-off dampak negatif, terutama kerusakan lingkungan di daerah penghasil tambang. Di daerah penghasil barang tambang, lingkungan yang sehat dan bersih menjadi barang langka. Bahkan daerah penghasil juga merasakan ketidakadilan, seperti akses listrik dari batu bara masih kurang pasokannya karena batu bara dikirim ke daerah lain untuk memenuhi kebutuhan energi, terutama untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Jawa-Bali

Dampak dari kegiatan penambangan dapat dikelompokkan dalam bentuk kerusakan permukaan bumi, ampas buangan (tailing), kebisingan, polusi udara, menurunnya permukaan bumi (land subsidence), serta kerusakan karena transportasi alat dan pengangkut berat. Karena itu, perlu ada kesadaran pada kita terhadap pentingnya perlindungan lingkungan, sehingga standar lingkungan dapat terpenuhi, agar diterima pasar. Terlebih, kebanyakan komoditas hasil tambang biasanya dijual dalam bentuk bahan mentah sehingga pengelolaannya harus hati-hati. Sebab, bila para pemakai mengetahui bahan mentah yang dibeli mencemari lingkungan, kemungkinan besar mereka tidak mau membeli produk tersebut, sehingga timbul kerugian ekonomi bagi calon penjual. Apalagi, mengingat tambang batu bara ini suatu saat akan habis, kegiatan penambangan haruslah dikelola tanpa kesalahan (zero mistake)

Bila diperhatikan dari aspek tata kelola batu bara, berdasarkan temuan koordinasi dan supervisi (korsup) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sektor Minerba 2014-2017, disebutkan tata kelola sektor batu bara masih memiliki sejumlah permasalahan, khususnya dari sisi kepatuhan akan aturan main (compliance). KPK setidaknya menyoroti tiga hal utama dari sisi tata kelola sektor batu bara, yaitu perizinan, kewajiban keuangan, dan kepatuhan kewajiban lingkungan (reklamasi dan pascatambang).

Laporan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyebutkan periode 2001-2009 sebagai masa-masa suram di sektor pertambangan, termasuk batu bara. Pada masa itu, sektor pertambangan berkembang sangat pesat tanpa pengawasan ketat, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi. Sengkarut tata kelola dalam pemberian izin pertambangan berdampak pada lahan yang tumpang-tindih, dengan akibat buruk bagi lingkungan berupa banyaknya lubang hasil penambangan yang dibiarkan menganga.

Masalah lain persoalan pengawasan adalah banyaknya pemilik IUP yang tidak membayar kewajiban keuangannya untuk PNBP, yaitu iuran tetap (land rent) dan royalti, yang angkanya pada September 2017 tercatat mencapai Rp 3,8 triliun dari sekitar 2.600 IUP. Namun, data tersebut masih bersifat agregat dari komoditas batu bara dan mineral untuk jenis IUP. Pemerintah telah memberikan tenggat penyelesaian piutang PNBP tersebut, yakni paling lambat 31 Maret 2017.

KPK mencatat, pada saat dimulainya koordinasi dan supervisi minerba pada 2014, sebanyak 90% perusahaan tambang (IUP) tidak menyetorkan kewajiban rehabilitasi lahan tambang. Karena itu, tidak mengherankan jika dampak kerusakan lingkungan merebak akibat buruknya tata kelola tambang batu bara.

Keberadaan instrumen hukum di negara ini sering belum cukup untuk memastikan bahwa persoalan 2 persoalan teknis dan risiko di lapangan, khususnya industri batu bara, dapat terjawab dengan baik. Hadirnya safeguards atau “kebijakan pengamanan” menjadi alternatif untuk digunakan di level tapak dalam mengisi kekurangan tersebut agar proyek dapat berjalan lancar sejak awal. Safeguards merupakan salah satu isu kunci dalam implementasi program dan kegiatan pembangunan saat ini

safeguards bukan hanya sebuah kebijakan perlindungan, tetapi juga menjadi bagian integral dalam perencanaan yang menentukan hasil akhir dari suatu program ataupun kegiatan. Pelaksanaan safeguards secara konsisten terbukti memberikan efek positif berkelanjutan bagi masa depan misi dari kegiatan ataupun proyek. Dalam hal ini, safeguards merupakan bagian integral dari mata rantai kegiatan

LJK mempunyai kepentingan langsung dengan penggunaan safeguards batu bara. Sekurang-kurangnya terdapat dua alasan yang menjadi landasan bagi LJK untuk menggunakan safeguards. Pertama, program dan kegiatan yang didanai LJK akan juga terkait dengan intervensi kebijakan yang mempunyai implikasi pada kepentingan pihak/kementerian/lembaga lain. Safeguards diharapkan menjadi instrumen untuk memastikan program intervensi kebijakan tersebut tidak menimbulkan kerugian dan dampak buruk, baik secara sosial maupun lingkungan hidup. Kedua, LJK adalah salah satu aktor investasi yang turut berkontribusi dalam mengurangi dampak negatif investasi tambang batu bara. Proyek batu bara terbukti menjadi salah satu proyek yang menarik investasi tetapi juga berisiko tinggi. Karena itu, LJK perlu membuat pedoman untuk mencegah agar proyek-proyek tersebut tidak menimbulkan dampak negatif yang terlalu besar bagi komunitas dan lingkungan

Dalam pelaksanaan safeguards melibatkan pihak lembaga jasa keuangan dan pihak perusahaan. Hal ini terutama dalam upaya memfasilitasi terbentuknya terobosan agar kebuntuan dalam menjalankan proyek batu bara yang bertanggung jawab dengan penggunaan safeguards dapat dipecahkan. Serta apabila ada dokumen safeguards yang digunakan sebagai pedoman teknis di level tapak, pelaksana akan dapat membuat proses pelibatan masyarakat sejak awal, walaupun tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan/hukum. Setidaknya ada lima substansi minimum yang termuat dalam safeguards, yaitu partisipasi penuh dan efektif, partisipasi yang inklusif, transparansi, keberlanjutan lingkungan, serta mekanisme complain.

Mekanisme penilaian dan mitigasi risiko adalah proses berkesinambungan untuk mengidentifikasi risiko apa saja yang potensial muncul dari sebuah program ataupun kegiatan. Program ataupun kegiatan seharusnya tidak menimbulkan dampak negatif yang terdapat dalam daftar amdal. Karena itu, identifikasi risiko akan membantu pelaksana program/proyek menentukan skala dampak lingkungan dari suatu kegiatan. Peraturan-peraturan ini merupakan kerangka umum yang harus dirujuk pelaksana suatu kegiatan yang mempunyai konsekuensi lingkungan hidup. Setidaknya ada tiga tahap untuk memastikan mitigasi risiko berjalan, yakni: identifikasi resiko, pengembangan rencana waktu dan implementasi safeguard.

 

Untuk mendapatkan buku, silahkan Hubungi Kami

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *