RINGKASAN EKSEKUTIF

 

Berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan yang mengedepankan keselarasan aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 5 Desember 2014 meluncurkan road map keuangan berkelanjutan. Road map ini berisi paparan rencana kerja program keuangan berkelanjutan untuk industri jasa keuangan yang berada di bawah OJK, yaitu perbankan, pasar modal, dan industri keuangan nonbank (IKNB). Road map keuangan berkelanjutan ini menjadi bagian dari Master Plan Sektor Jasa Keuangan Indonesia (MPSJKI) serta digunakan sebagai acuan bagi pemangku kepentingan keuangan berkelanjutan. Implementasi road map di antaranya tertuang dalam Peraturan OJK, yaitu POJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik serta Nomor 60/POJK.01/2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond)

Selanjutnya, untuk mempermudah penerapan prinsip keuangan berkelanjutan, OJK mengeluarkan panduan yang bersifat sukarela dan living document bagi lembaga jasa keuangan (LJK) dalam penyediaan jasa keuangan pada berbagai bidang usaha, seperti energi, pertanian, dan properti. Panduan panduan tersebut juga dirancang untuk mendukung LJK dalam mengembangkan kebijakan keuangan berkelanjutan ataupun mengembangkan prosedur yang lebih praktis dan adaptif

Sektor kehutanan Indonesia sedang mengalami krisis akibat deforestasi dan degradasi hutan yang sangat parah yang mengancam kelangsungan hidup masyarakat sekitar hutan dan juga mengancam kontribusi sektor kehutanan terhadap perolehan devisa dan pembangunan ekonomi. Total produksi kayu bulat Indonesia yang berasal dari berbagai sumber, seperti hutan alam, hutan tanaman industri, izin sah lainnya, dan areal konversi, jauh lebih kecil daripada kebutuhan bahan baku kayu pada kapasitas terpasang industri perkayuan (roundwood equivalent). Kesenjangan yang besar antara permintaan kayu oleh industri perkayuan dan pasokan kayu yang lestari perlu diatasi, di antaranya melalui revitalisasi industri kehutanan, percepatan pembangunan hutan tanaman, dan pengembangan sumber pasokan kayu alternative

Berkaitan dengan pasokan kayu dari hutan tanaman, Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 2011 2030 (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/Menhut-II/2011) menargetkan pembangunan hutan tanaman sebesar 18,5 juta hektare: 15,9 juta hektare berupa IUPHHK-HTI untuk kawasan pengusahaan hutan skala besar dan 2,6 juta hektare berupa hutan tanaman rakyat (HTR) untuk kawasan pengusahaan hutan skala kecil. Target ini didasari pemahaman bahwa industri perkayuan Indonesia di masa depan akan sangat bergantung pada hutan tanaman, baik berupa HTI maupun HTR

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2017) melaporkan nilai investasi perusahaan pemegang aset IUPHHK-HT sampai tahun 2016 sebesar Rp 42,957 triliun. Sebanyak 83% dari total nilai investasi berada di tujuh provinsi, yaitu Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Jambi, Sumatera Utara, dan Kalimantan Tengah. Berdasarkan realisasi penanaman pada periode 1989-2012, potensi produksi kayu bulat hutan tanaman cukup tinggi, tapi realisasi produksinya hanya sekitar 26% (APHI, 2016; Manurung et al., 2007)

Mengacu pada RKTN 2011-2030 dan berdasarkan kapasitas terpasang industri kayu gergajian, venir, kayu lapis (termasuk LVL dan blockboard), dan pulp pada 2010, dengan asumsi tidak ada peningkatan kapasitas terpasang yang berarti, Simangunsong dan Nugroho (2013) memperkirakan kebutuhan kayu bulat untuk periode 2013-2034 adalah 34,68 juta m3 kayu perkakas dan 35,56 juta m3 kayu bulat pulp. Jika potensi pasokan kayu bulat pulp dapat direalisasi, bukan hanya kebutuhan kayu bulat pulp dapat dipenuhi, bahkan tersedia cukup banyak kayu bulat untuk diekspor. Potensi kayu bulat pulp yang dapat diekspor berkisar dari 44,53 juta m3 sampai 63,77 juta m3

Sementara itu permasalahan utama yang dihadapi dalam pengembangan hutan tanaman (industri), antara lain:

  1. Ketidakpastian lokasi dan ketidakjelasan status lahan; akibat batas-batas kepimilikan areal di lapangan yag tidak jelas.
  2. Kurangnya jaminan kepastian hukum dan usaha; Hal ini terjadi akibat sering terjadinya konflik penggunaan lahan dan lemahnya penegakan hukum yang meningkatkan ketidakpastian dan risiko bisnis pembangunan hutan tanaman.
  3. Kurang tersedianya infrastruktur, seperti jalan dan energi; Hal ini terjadi karena kawasan hutan yang dicadangkan untuk HTI biasanya berupa hutan alam yang sudah rusak dan terpencil sehingga pengembangan hutan tanaman merupakan usaha yang mahal.
  4. Rendahnya harga kayu hasil hutan tanaman; Hal ini terjadi akibat (1) kebijakan larangan ekspor kayu bulat, yang membuat pasar kayu bulat menjadi terbatas, (2) jumlah pembeli kayu bulat yang hanya sedikit (struktur pasar oligopsoni) sehingga pembeli mampu mengendalikan harga kayu, dan (3) banyaknya kayu bulat liar yang beredar, yang memberikan sinyal yang keliru kepada pasar seolah-olah jumlah kayu bulat cukup banyak tersedia.
  5. Rendahnya partisipasi masyarakat lokal sebagai pengusaha hutan tanaman; Hal ini terjadi karena usaha pembangunan hutan tanaman memerlukan modal yang relatif besar.

 

Pengembangan hutan tanaman yang cepat untuk memenuhi kebutuhan kayu dari industri perkayuan ini telah menjadi bisnis besar, tapi menimbulkan banyak kontroversi di dunia, terutama di negara negara berkembang. Pendukung pengembangan hutan tanaman menyatakan bahwa hutan tanaman akan membantu mengurangi tekanan terhadap hutan alam dan sekaligus menciptakan pertumbuhan ekonomi, sementara para penentangnya menyatakan bahwa hutan tanaman telah menghancurkan lingkungan dan menghilangkan petani-petani hutan. Sementara itu, aspek tata kelola akan difokuskan pada proses bisnis tata kelola hutan tanaman berdasarkan peraturan terbaru.

Secara ringkas, Risiko sektor hutan tanaman industri dapat dilihat dari:

Aspek risiko lingkungan hidup berupa Keberatan terhadap pengembangan hutan tanaman didasari dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap lingkungan.

Aspek risiko sosial; Pembangunan hutan tanaman tidak hanya berdampak terhadap landscape dan lingkungan, tapi juga terhadap komunitas lokal.

Proses Bisnis dan Risiko Tata Kelola; Permasalahan-permasalahan tata kelola HTI terutama berkaitan dengan persoalan-persoalan perizinan, fraud, dan KKN.

Keberlanjutan bisnis hutan tanaman dapat diukur dari dampak yang ditimbulkan oleh praktik pengelolaan hutan tanaman terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola. Praktik pengelolaan hutan tanaman yang buruk atau tidak bertanggung jawab akan menimbulkan permasalahan-permasalahan lingkungan, sosial, dan tata kelola antara lain kehilangan/penurunan keanekaragaman hayati; perubahan hidrologis, seperti perubahan siklus air, peningkatan air permukaan, penurunan kapasitas tanah dalam menyerap air, dan penurunan debit air ke DAS; kerusakan tanah, seperti erosi tanah, kehilangan unsur hara tanah, dan penurunan kesuburan tanah; serangan hama; polusi genetik; emisi gas rumah kaca; pekerja umumnya tidak terlatih, musiman, dengan upah yang rendah dan kondisi kerja yang buruk; konflik pemanfaatan lahan; serta tidak diikutinya perkembangan regulasi.

Maka dari itu penting bagi LJK untuk menilai komitmen keberlanjutan perusahaan dalam mematuhi ketentuan standar keberlanjutan. LJK perlu memiliki prosedur tata kelola, termasuk prosedur pengelolaan risiko lingkungan. Dan memiliki prosedur penilaian permohonan kredit/pembiayaan berkaitan dengan panduan. Lalu pada tahap persetujuan kredit (lending stage) penting agar LJK untuk menjamin komitmen perusahaan IUPHHK-HTI dalam menerapkan Panduan Pembiayaan Hutan Tanaman Berkelanjutan secara konsisten, kegiatan pengawasan harus dilakukan. LJK dan perusahaan IUPHHK-HTI mesti membuat rencana kegiatan monitoring dan supervisi secara teratur (misalnya setahun sekali atau enam bulan sekali). Karena, Komitmen LJK merupakan faktor penentu bagi perusahaan IUPHHK-HTI untuk menerapkan Panduan Pembiayaan Hutan Tanaman Berkelanjutan. Dalam hal portofolio pembiayaan HTI cukup besar, jika diperlukan, dibentuk unit/fungsi khusus.

Penerapan Panduan Pembiayaan Hutan Tanaman Berkelanjutan bukan hanya merupakan upaya melindungi kepentingan publik, tapi juga kepentingan LJK. Oleh karena itu, melibatkan publik merupakan hal yang logis untuk menjamin komitmen IUPHHK-HTI dalam menerapkan panduan tersebut. Hal ini dapat dicapai dengan menyediakan informasi tentang praktik-praktik penerapan panduan oleh IUPHHK HTI kepada publik secara transparan.

Untuk menjaga kualitas pembiayaan HTI, salah satu yang disarankan adalah LJK secara berkesinambungan memiliki program peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) internal, terutama mengenai peraturan terkait, manajemen risiko, dan kemampuan berkomunikasi dengan pemangku kepentingan HTI. Dan Jika diperlukan, LJK menggunakan auditor eksternal untuk menilai kelayakan IUPHHK-HTI dalam memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Panduan Pembiayaan Hutan Tanaman Berkelanjutan dan kepatuhan IUPHHK-HTI dalam praktik.

Terkait dengan sumber-sumber pendanaan di sektor kehutanan; United Nations Forum on Forest (UNFF, 2006) serta J.W. van Gelder dan E. Wakker (2003) menjelaskan sumber-sumber pendanaan untuk sektor kehutanan: (1) sumber-sumber bilateral, (2) sumber-sumber multilateral, dan (3) aliran pendanaan komersial pada dunia usaha, baik luar negeri maupun domestik/asing. Menurut UNFF (2006) dan Enters et al. (2004) pembiayaan langsung swasta tetap merupakan sumber utama investasi di sektor kehutanan, sementara bantuan pembangunan berkurang perannya. Sementara itu pembiayaan sektor kehutanan untuk tujuan perlindungan dan kelestarian hutan serta hutan-hutan rakyat diberikan terutama oleh lembaga-lembaga bilateral dan multilateral. Karena adanya keuntungan ekonomi yang menjanjikan serta kurangnya insentif yang memadai.

Berkaitan dengan pengembangan hutan tanaman industri di Indonesia yang dinilai lambat ini, Kementerian Kehutanan kemudian membentuk badan layanan umum (BLU) kehutanan pada 2007 buat menyiasati keluhan pengusaha dalam mendapatkan pembiayaan dari perbankan untuk kegiatan pembangunan hutan tanaman industri (HTI) dan hutan tanaman rakyat (HTR). Fasilitas yang diberikan adalah bunga yang murah dan berpatokan pada tingkat suku bunga Bank Indonesia, misalnya bunga sebesar 5,75% per tahun dengan masa pengembalian setelah panen (daur 8 tahun) diberikan untuk HTR dan bunga 5,75% plus 4% atau 9,75% per tahun untuk HTI (Desember 2012). Tingkat suku bunga tersebut masih di bawah tingkat suku bunga pinjaman bank dalam negeri.

Sampai awal 2013, penyerapan dana dari BLU mencapai Rp 20 miliar dan sebagian besar mendanai pengusahaan HTR, hutan rakyat (HR), hutan kemasyarakatan (HKm), dan hutan desa (HD) oleh masyarakat perdesaan. Dana itu merupakan bagian dari dana BLU kehutanan senilai Rp 2,5 triliun yang disiapkan Kementerian Kehutanan untuk periode 2010-2014. Pertumbuhan investasi sektor kehutanan yang lambat, terutama di sektor hulu, disebabkan oleh beberapa persoalan dan salah satunya adalah masuknya sektor kehutanan ke daftar negatif kredit bank.

Dari sisi ekonomi makro, perlambatan ini juga diduga karena pengaruh perubahan target pertumbuhan ekonomi skala nasional karena pemerintah memilih mengembangkan industri berbasis kerakyatan dibanding membuka peluang investasi baru secara besar-besaran. Sektor hulu kehutanan perlu mendapat prioritas pendanaan dengan menempatkan industri ini sebagai green investment sehingga bisa memperoleh duku-ngan dari perbankan dan lembaga keuangan, baik domestik maupun internasional.

 

Jakarta, April 2018

Tim Peneliti

 

Untuk mendapatkan buku, silahkan Hubungi Kami

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *