Sarjan Lahay

1 Jun 2025 Gorontalo

 

  • Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK)menghadapi masa krisis.  Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengusulkan pelonggaran 441 kode harmonized system (HS) di sektor kehutanan. Salah satunya, penghapusan kewajiban uji tuntas dan deklarasi impor untuk produk kayu, serta menjadikan dokumen V-Legal opsional bagi pasar selain Uni Eropa (UE) dan Inggris.
  • Denny Bhatara, Juru Kampanye Senior Kaoem Telapak, menyebut, pelemahan SVLK bisa menjadi langkah mundur yang berpotensi mengikis kepercayaan pasar internasional, yang telah dibangun dengan susah payah selama bertahun-tahun.
  • Muhammad Ichwan, Dinamisator Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), bilang, upaya deregulasi sudah terdeteksi sejak awal tahun 2025. Saat itu, sejumlah asosiasi pengusaha mulai melakukan lobi kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Perdagangan.
  • Willem Pattinasarany, Koordinator Indonesia Working Group and on Forest Finance (IWGFF), menyebut deregulasi SVLK bisa mendorong peredaran kayu ilegal. Kondisi ini bisa mematikan iklim usaha pelaku industri kayu yang taat aturan.

 

Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) menghadapi masa krisis. Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengusulkan pelonggaran 441 kode harmonized system (HS) di sektor kehutanan. Salah satunya, penghapusan kewajiban uji tuntas dan deklarasi impor untuk produk kayu, serta menjadikan dokumen V-Legal opsional bagi pasar selain Uni Eropa (UE) dan Inggris.

Awalnya, upaya  deregulasi ini merupakan respons terhadap tarif impor Amerika Serikat dan  meningkatkan daya saing ekspor produk kayu Indonesia. Niatan ini langsung mendapat reaksi keras dari berbagai  organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai, langkah ini merupakan ancaman nyata masa depan industri kayu Indonesia.

Padahal, tren pasar global justru menuntut produk tidak hanya legal, juga ramah lingkungan dan berkelanjutan. Pelonggaran regulasi hanya akan melemahkan posisi daya saing produk kayu Indonesia di mata internasional.

“Dalam konteks ini, pelemahan SVLK bisa menjadi langkah mundur yang berpotensi mengikis kepercayaan pasar internasional, yang telah dibangun dengan susah payah selama bertahun-tahun,” kata Denny Bhatara, Juru Kampanye Senior Kaoem Telapak, melalui rilis yang Mongabay terima.

Sejak pemberlakuan 2010, SVLK membawa Indonesia sebagai salah satu pemain utama perdagangan produk kayu legal dan lestari. Sistem ini membuat nilai ekspor produk kayu mencapai US$14,51 miliar pada 2022.

Menurut Denny, keberhasilan ini bukan keberuntungan semata, melainkan buah konsistensi dan kerja keras berbagai pemangku kepentingan dalam memastikan setiap produk kayu yang ekspor memenuhi standar legalitas dan keberlanjutan yang ketat.

“SVLK telah menjadi jaminan yang tidak hanya mendongkrak reputasi Indonesia sebagai pemasok kayu bertanggung jawab, tetapi juga membuka akses ke pasar bernilai tinggi yang selama ini sulit diraih tanpa kepastian legalitas,” katanya.

Ada rencana deregulasi berisiko menimbulkan ketidakpastian di kalangan pembeli internasional. Menurut dia, menjadikan dokumen V-Legal opsional akan membuat negara tujuan ekspor kesulitan memastikan produk kayu yang mereka terima benar-benar berasal dari sumber legal dan lestari.

Hal ini, bukan sekadar persoalan administratif, melainkan juga kepercayaan yang mendasar dalam hubungan dagang internasional. Tanpa kepastian ini, risiko penyelundupan kayu ilegal dan produk dengan standar keberlanjutan yang meragukan akan meningkat. Menurunkan reputasi Indonesia sebagai negara produsen kayu yang tepercaya.

Sementara, negara-negara pesaing seperti Vietnam dan Malaysia telah menginvestasikan sumber daya besar untuk memperkuat sistem legalitas dan sertifikasi produk kayu mereka.  Pelemahan SVLK berisiko membuat produk kayu nasional turun kelas ke pasar dengan nilai ekonomi rendah.

Senada dengan Muhammad Ichwan, Dinamisator Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK). Menurut dia, upaya deregulasi sudah terdeteksi sejak awal  2025. Saat itu, sejumlah asosiasi pengusaha mulai melakukan lobi kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Perdagangan.

Tujuannya, meminta pelonggaran kebijakan SVLK, khusus supaya dokumen V-Legal tidak lagi wajib untuk negara tujuan ekspor yang tidak mensyaratkan dokumen itu. Pandangan mereka,  bisa memperluas penetrasi pasar di pasar global.

“Melalui berbagai pernyataan di media, kalangan pengusaha menyebut penerbitan dokumen V-Legal dinilai membebani, terutama karena dianggap menambah beban administrasi yang tidak proporsional. Namun, kami menilai klaim ini tidak sepenuhnya berdasar,” katanya kepada Mongabay.

Padahal, proses penerbitan dokumen V-Legal mengalami penyederhanaan signifikan melalui sistem aplikasi digital. “Kami memandang secara kritis langkah deregulasi ini merupakan kemunduran bagi industri perkayuan nasional yang selama ini telah dibangun dengan pondasi kuat melalui implementasi SVLK.”

Relaksasi terhadap SVLK berisiko menciptakan preseden negatif yang mencerminkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam menjaga tata niaga kayu yang transparan dan akuntabel. Juga rawan rusak kepercayaan pasar internasional yang makin menuntut kepatuhan terhadap prinsip legalitas, kelestarian, dan standar keberlanjutan.

Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memiliki lisensi Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT). Citra positif ini, katanya, yang merupakan modal daya saing produk kayu di pasar internasional.

Bahkan, beberapa pesaing di Asia Tenggara dan Afrika juga mengikuti dengan membangun instrumen serupa. Oleh karena itu, rencana relaksasi merupakan langkah mundur dan merusak citra positif Indonesia.

“Di sisi lain, perubahan kebijakan ini dapat juga berpotensi menciptakan ketidakpastian bagi pelaku usaha, terutama eksportir kecil dan menengah, mengenai persyaratan ekspor yang berlaku di berbagai negara. Sehingga, dalam jangka panjang, akan menciptakan kerugian struktural dan justru menurunkan nilai ekspor Indonesia.”

 

Ini kayu-kayu ilegal dari menebang kayu di TAman Nasional Gunung Leuser. kayu-kayu ini banyak keluar kawasan sudah dalam bentuk setengah olahan produk mebel. Bagaimana kala produk mebel kayu dan kerajinan bebas SVLK, duka apa bahagia bagi masa depan hutan Indonesia? Foto: Ayat S Karokaro

 

Celah kayu ilegal

Deregulasi SVLK juga berisiko membuka celah kayu ilegal yang selama ini menjadi momok kelestarian hutan Indonesia. Laju deforestasi bisa kembali melonjak, sekaligus ancam keanekaragaman hayati.

Mustam Atif, Direktur Perkumpulan JURnaL Celebes, mengatakan, hal ini patut jadi alarm serius. Menurut dia, perusahaan-perusahaan dengan rekam jejak buruk di industri kehutanan bisa memanfaatkan celah ini untuk mengintensifkan kembali penebangan ilegal.

“Dengan melemahnya mekanisme pemenuhan legalitas dan pengawasan di lapangan, risiko terjadinya gelombang deforestasi baru sangat mungkin terjadi,” katanya pada Mongabay, Senin (26/5/25).

Pemerintah, seharusnya menghindari keputusan yang terburu-buru dan berorientasi jangka pendek. Menurutnya, kepentingan kelompok tidak boleh mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan perekonomian jangka panjang negara.

Pelonggaran SVLK, akan mengikis kepercayaan global terhadap produk kayu Indonesia. Terlebih Uni Eropa sedang mengimplementasikan European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang menuntut ketatnya standar anti deforestasi.

Hilangnya kepercayaan mitra dagang utama akan membuat peluang pasar ekspor menyusut, serta melemahkan posisi tawar Indonesia dalam diplomasi perdagangan internasional. Bukan hanya negara yang merasakan dampak buruknya, tapi juga industri kayu nasional yang selama ini bergantung pada kepercayaan pasar global.

“Dari sisi tata kelola, kebijakan ini bisa membuka celah bagi illegal logging, memicu deforestasi baru, dan meningkatkan ancaman terhadap keanekaragaman hayati.”

Menurut Ichwan, rencana ini bisa membuka peluang masuknya kayu ilegal lintas negara masuk dalam rantai pasok, baik dalam pengolahan maupun perdagangan. dokumen V-Legal, berkaitan erat dengan proses uji tuntas (due dilligence) untuk memastikan legalitas kayu.

Bagi importir, due diligence merupakan bagian wajib SVLK untuk membuktikan kayu impor berasal dari sumber yang sah. Sementara dalam ekspor, dokumen V-Legal justru mempermudah proses due diligence karena menyediakan rekam jejak ketertelusuran, hasil audit, dan jaminan legalitas.

“Wacana yang berkembang saat ini adalah kewajiban uji tuntas dan deklarasi impor juga didorong pengusaha untuk dicabut. Ini tentu sangat berpengaruh signifikan terhadap kredibilitas rantai peredaran kayu legal.”

Tahun 2021, JPIK dengan jaringan masyarakat sipil internasional, termasuk Earthsight, mengungkap masuknya kayu ilegal Rusia ke Indonesia. Saat itu, Indonesia masih menerapkan kewajiban due diligence impor dalam kerangka SVLK.

Menurut dia, pengawasan yang lemah dan celah dalam implementasi SVLK memungkinkan kayu ilegal dari kawasan konflik seperti Rusia masuk Indonesia, bahkan terserap pabrik yang telah tesertivikasi SVLK.

Oleh karena itu, jika pemerintah benar-benar menghapus kewajiban due diligence dan deklarasi impor, maka Indonesia berisiko jadi “negara pencuci” kayu ilegal dunia. Deregulasi ini, katanya, sangat tidak bertanggung jawab dan bertentangan dengan arah tata kelola global.

“Jika sebagian besar ekspor produk kayu tidak lagi diwajibkan melalui proses verifikasi legalitas, maka SVLK akan kehilangan fungsi utamanya sebagai instrumen pengawasan, serta insentif bagi pelaku usaha untuk mematuhi prinsip legalitas dan keberlanjutan.”

Tahun 2020, JPIK pernah menerima laporan dugaan pelanggaran ekspor furnitur kayu jati ke Belanda. Otoritas negara tujuan menemukan produk yang tiba bukan furnitur kayu jati seperti tercantum dalam dokumen V-Legal, melainkan furnitur dari kayu kelengkeng (longan wood).

Hal ini bisa terjadi karena tidak semua produk kehutanan harus menjalani pemeriksaan fisik (stuffing) sebelum ekspor. Misalnya, produk furnitur dari pelaku UMKM dikecualikan oleh surveyor seperti PT Sucofindo. Celah ini memungkinkan manipulasi jenis kayu tanpa terdeteksi pada tahap verifikasi akhir.

Kejadian ini menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas sistem verifikasi. Lembaga sertifikasi terkait menyebut hal ini kesalahan penulisan. Akan tetapi, Ichwan menilai hal ini lebih mirip penyimpangan disengaja, bukan sekadar kelalaian administratif.

“Kasus ini memperlihatkan bahwa sekalipun dalam kerangka regulasi yang ketat, SVLK masih dapat dimanipulasi. Maka bila deregulasi diberlakukan, risiko manipulasi data, peredaran kayu ilegal, dan hilangnya kepercayaan pasar internasional terhadap produk kayu Indonesia akan semakin besar dan sulit dikendalikan.”

Petugas Gakkum KLHK Maluku dan Papua sedang meninjau Lokasi Pembalakan liar CV SBM di Hutan Sabuai-1

 

Mematikan pasar dan UKM

Di ranah diplomasi dan hubungan perdagangan internasional, wacana ini dapat mengirimkan sinyal negatif. Mitra dagang bisa menganggap Indonesia sebagai pihak yang tidak serius menegakkan perjanjian perdagangan legal dan berkelanjutan, termasuk Perjanjian Kemitraan Sukarela (Voluntary Partnership Agreement/VPA) dengan Uni Eropa dan Inggris.

Menurut Denny, Indonesia berisiko terkena sanksi dan pembatasan akses pasar global. Tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga melemahkan hubungan diplomatik dan posisi tawar Indonesia di perdagangan internasional dalam jangka panjang.

Pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) yang selama ini jadi tulang punggung industri kehutanan bisa terkena dampak serius. Menurutnya, UKM bisa kekurangan sumber daya untuk mengelola sistem yang terfragmentasi antara produk bersertifikat dan tidak bersertifikat.

Akibatnya, akses mereka ke pasar yang mensyaratkan standar legalitas dan keberlanjutan akan semakin terhambat. Peluang ekonomi mereka jadi sempit, dan kelangsungan bisnis terancam.

“Kepercayaan pasar yang dibangun melalui sistem ini membuka akses ke pasar premium dan memperkuat posisi Indonesia di perdagangan global.”

Willem Pattinasarany, Koordinator Indonesia Working Group and on Forest Finance (IWGFF), menyebut deregulasi SVLK bisa mendorong peredaran kayu ilegal. Kondisi ini bisa mematikan iklim usaha pelaku industri kayu yang taat aturan.

Ketidaksetaraan ini berpotensi mematikan pelaku usaha legal, mengurangi basis pajak, serta memperlebar ruang gelap ekonomi ilegal di sektor kehutanan. Ia bilang, melemahkan SVLK sama saja dengan membuka kembali pintu ke masa kelam perdagangan kayu ilegal yang pernah mencoreng nama Indonesia di mata dunia.

Padahal, katanya, SVLK berperan penting sebagai jaminan legalitas kayu Indonesia di pasar internasional, terutama di Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Keberadaan sertifikat SVLK memungkinkan produk kayu Indonesia masuk pasar Uni Eropa di bawah skema FLEGT, tanpa perlu sertifikasi tambahan.

Untuk itu, pelemahan ini bisa membuat kepercayaan pasar global hilang. Produk kayu Indonesia berisiko tinggi, dan berpotensi marak penolakan dan pembatasan. Negara-negara lain seperti Vietnam dan Malaysia, yang kini gencar memperkuat sistem sertifikasinya, siap merebut pasar Indonesia.

“Kerugian akibat kehilangan pasar ekspor ini bukan angka kecil. Hilangnya sebagian dari pasar ini akan berarti penurunan devisa secara langsung, penutupan lapangan kerja, dan terganggunya stabilitas industri kehutanan nasional,” katanya.

Bagi Ichwan, deregulasi ini bisa berdampak pada komunitas adat dan masyarakat lokal.

“Dengan pelemahan SVLK,  akses masyarakat untuk memastikan hak-haknya dilindungi semakin tertutup, dan perusahaan-perusahaan bisa kembali beroperasi tanpa transparansi. Konflik lahan, perampasan wilayah adat, dan pelanggaran HAM sangat mungkin meningkat sebagai konsekuensi dari deregulasi ini,” katanya.

Kaoem Telapak, JPIK, JURnaL Celebes, IWGFF dan 52 organisasi masyarakat sipil lainnya mendesak Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian membatalkan rencana deregulasi perdagangan kayu itu. Mereka  meminta,  pemerintah merumuskan kebijakan perdagangan alternatif yang bisa jawab tantangan tarif tanpa korbankan kepentingan ekonomi jangka panjang.

Mereka juga mendesak, pemerintah lebih aktif mempromosikan produk kayu Indonesia melalui berbagai platform internasional, seperti Broader Market Recognition Coalition.

“Kerja sama konstruktif dengan mitra dagang utama seperti Uni Eropa, Inggris, dan Amerika Serikat harus diperkuat untuk mendukung dan memperluas pengakuan terhadap sistem SVLK,” kata Denny.

Mongabay menghubungi Haryo Limanseto, Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, untuk meminta tanggapan terkait desakan organisasi masyarakat sipil yang menolak rencana deregulasi perdagangan kayu ini. Dia justru mengarahkan supaya Mongabay tanya ke Kementerian Perdagangan.

“Untuk deregulasi sedang difinalisasi di kementerian teknis, Mas. Mohon bisa ditanyakan ke Humas Kementerian Perdagangan,” jawabnya singkat.

SVLK dinilai belum efektif bagi industri kecil bidang kehutanan dan hutan rakyat, sehingga JURnal Celebes mendesak pemerintah segera membenahi kekurangan SVLK ini secara menyeluruh. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Kredit

Richaldo Hariandja

Editor

Sumber: https://mongabay.co.id/2025/06/01/upaya-pelemahan-svlk-bahayakan-industri-kayu/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *