Despian Nurhidayat 23/11/2024 09:06
SEBANYAK 207 juta pemilih Indonesia akan berpartisipasi dalam Pilkada serentak pada 27 November 2024 mendatang. Pemilih akan memilih 37 gubernur dan 508 kepala daerah kabupaten/kota.
Dalam momentum ini, Indonesia Working Group on Forest Finance (IWGFF), Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Lingkar Madani (LIMA), Koalisi Pemilu Bersih (Kopi Bersih), dan Indonesia Budget Center (IBC) yang menginisiasi gerakan Green Democratic mengingatkan pentingnya masyarakat untuk memilih pemimpin yang mampu mengelola sumber daya alam secara bertanggung jawab demi mencegah kerusakan lingkungan yang berdampak luas.
Direktur IWGFF, Willem Pattinasarany, menekankan bahwa salah urus sumber daya alam oleh kepala daerah dapat memicu bencana ekologis, sosial, dan ekonomi. “Pemilih harus memilih pemimpin yang berani menolak proyek yang mengancam kelestarian lingkungan,” ungkapnya, Jumat (22/11).
Ia mengingatkan tragedi seperti Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah yang memicu kebakaran hutan dahsyat pada 1997, serta banjir besar di Bahorok (2003), NTT (2021), dan Kalimantan Selatan (2021), yang sebagian besar disebabkan oleh pengelolaan lahan yang buruk.
Dalam kesempatan ini, IWGFF dan koalisi juga mengajak masyarakat menolak praktik politik uang, terutama serangan fajar yang sering dilakukan para kandidat.
“Jumlah yang diterima masyarakat tidak sebanding dengan kerugian jangka panjang akibat kerusakan lingkungan dan ekonomi daerah,” jelas Willem.
Di tempat yang sama, Manager Riset ForMaPPI, Lucius Karus menyerukan pentingnya tata kelola pemilu yang transparan, akuntabel, dan partisipatif. Ia mengingatkan masyarakat untuk ikut memantau penyelenggara pemilu agar bebas dari praktik kotor.
“Proses pemilu sebelumnya menunjukkan indikasi ketidaknetralan, seperti kandidat yang tidak layak secara administrasi namun tetap lolos seleksi,” kata Lucius.
Direktur IBC, Elizabeth Kusrini menambahkan bahwa tingginya biaya politik membuat kandidat terpaksa mengeluarkan dana besar, baik untuk memperoleh dukungan partai maupun membiayai kampanye.
“Hal ini sering kali berujung pada kebijakan yang boros anggaran dan mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif LiMa, Ray Rangkuti mendesak perlunya revisi Undang-Undang Pemilu untuk mencegah politik uang dan praktik transaksional. “Kami menyarankan agar pemerintah pusat membiayai kampanye kandidat dari kas negara, sehingga para kandidat dapat lebih fokus pada ide-ide pembangunan hijau daripada mencari dana kampanye ilegal,” tandasnya.
Dengan gerakan ini, diharapkan Pilkada 2024 tidak hanya menjadi ajang memilih pemimpin, tetapi juga momentum untuk mendorong tata kelola lingkungan yang lebih baik demi masa depan Indonesia yang berkelanjutan. (H-2)
Editor : Indrastuti