Indonesia Working Group on Forest Finance (IWGFF) / Perkumpulan Komunitas Keuangan Kehutanan (Komutan) Indonesia melihat adanya dua permasalahan besar untuk mencapai tata kelola pendanaan hijau yang berkelanjutan. Pertama, penerapan kebijakan pendanaan hijau yang masih kurang oleh lembaga keuangan dan perbankan, serta belum kuatnya OJK selaku regulator dalam melakukan pengawasan secara efektif terhadap penerapan aturan kebijakan tentang keuangan berkelanjutan oleh perbankan dan lembaga keuangan, karena itu penerapan sistem anti pencucian uang perlu diterapkan untuk mendukung penegakan hukumnya. Pada aspek keuangan negara, pemerintah daerah belum efektif memainkan perannya dalam kebijakan pendanaan hijau di daerah. Kedua, Penegakan hukum di bidang lingkungan hidup dan kehutanan masih lemah dan belum menimbulkan efek jera bagi para pelaku kerusakan lingkungan dan sumber daya alam.

Pendanaan usaha sektor kehutanan dan lingkungan di Indonesia

Pasca Indonesia menandatangani perjanjian Internasional yang mengikat secara hukum tentang perubahan iklim pada Konferensi Perubahan Iklim (COP21) di Perancis, Indonesia telah banyak melakukan kegiatan-kegiatan dalam pemenuhan prasyarat yang telah ditentukan dalam kesepakatan tersebut. Sebagai tindak lanjut komitmennya, Indonesia telah menjadikan Isu Pembangunan Berkelanjutan menjadi bagian dari visi dan misi pembangunan seperti yang tertuang dalam RPJPN dan RPJMN.

Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kalangan penyedia jasa keuangan juga ikut ambil bagian dengan mendorong green finance (pendanaan hijau), yaitu upaya mendorong investasi keuangan yang dikelola untuk mendukung proyek-proyek pembangunan berkelanjutan dan inisiatif, produk lingkungan, dan kebijakan yang mendorong pengembangan ekonomi yang berkelanjutan. Sayangnya, upaya baik dalam penerapan green finance masih menyisakan banyak pekerjaan, terutama bagaimana menterjemahkan kebijakan yang telah diambil pemerintah untuk di transformasi ke dalam sistem manajemen Lembaga Jasa Keuangan. OJK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam pembuatan regulasi dan melakukan pengawasan terhadap perbankan dan lembaga jasa keuangan terlihat seperti setengah hati dalam mendorong implementasi aturan keuangan berkelanjutan tersebut kepada pihak perbankan dan lembaga keuangan yang mengakibatkan mereka tidak sepenuhnya menerapkan kebijakan tersebut. Salah satunya, dapat dilihat dari kepatuhan bank dalam membuat Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB).

Untuk penerapan Peraturan OJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik, OJK juga belum mempunyai aturan turunan teknis tentang pembiayaan di sektor – sektor bisnis tertentu, seperti pembiayaan di sektor hutan tanaman dan tambang batubara. Dengan tidak adanya aturan tersebut membuat perbankan dan lembaga jasa keuangan lainnya tidak memiliki panduan dalam memberikan pembiayaan kepada perusahaan – perusahaan hutan tanaman dan tambang batubara sehingga menyebabkan pada kerusakan lingkungan dan SDA semakin parah.

Di lain pihak, perbankan dan lembaga jasa keuangan merupakan lembaga yang sangat sensitif dan konsen dengan reputasinya. tingkat kepercayaan publik kepada perbankan dan lembaga jasa keuangan akan berimbas kepada besar-kecilnya dana publik yang akan mereka tata kelola yang mempengaruhi profit / keuntungan yang diperoleh.

Tidak hanya perbankan dan lembaga jasa keuangan, Isu Pembangunan Hijau Berkelanjutan juga menjadi isu utama dalam perencanaan pembangunan nasional pemerintah. Setiap Kementerian dan Lembaga Negara telah memasukkan instrumen atau indikator pembangunan berkelanjutan dalam perencanaan program – program mereka.   Sayangnya, semangat ini kemudian tidak terkoordinasi antara Kementerian / Lembaga itu sendiri sehingga perencanaan program dan format pelaporan berjalan masing – masing. Hal ini yang kemudian menimbulkan kebingungan dan kesulitan dalam implementasi kebijakan tersebut di tingkat daerah karena kebijakan tersebut dapat berulang, saling tumpang tindih, dan memiliki format yang berbeda.

Pihak Kemendagri sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan, serta memfasilitasi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah sejatinya dapat memiliki peran strategis sebagai dirigen dalam orkestra tata kelola pemerintahan lintas Kementerian / Lembaga yang memiliki program di daerah dalam mendorong tercapainya tujuan Pembangunan Hijau Berkelanjutan. Dalam prakteknya, Kemendagri itu sendiri belum memasukkan indikator ekologis dalam indikator penilaian dalam evaluasi tata cara pemberian bantuan keuangan daerah. Ketidakjelasan dalam tata kelola investasi sektor kehutanan dan lingkungan oleh perbankan dan penyedia jasa keuangan lainnya, serta pelaksanaan program pemerintah yang tidak terkoordinasi dengan baik membuat upaya dalam mitigasi perubahan iklim ini menjadi tidak optimal.

Lemahnya penegakan hukum di sektor kehutanan dan pemanfaatan lahan.

Walaupun upaya untuk memenjarakan dan memberikan denda kepada pelaku kejahatan lingkungan terus dilakukan oleh para penegak hukum, Tingkat kerusakan lingkungan akibat tindak kejahatan mereka semakin meningkat.  Upaya hukum yang diberikan kepada para pelaku kejahatan lingkungan tidak memberikan efek jera.

UU tindak pidana pencucian uang sejati dapat digunakan oleh para penyidik untuk memberikan hukuman yang lebih berat kepada para pelaku kejahatan. Namun putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIX/2021 mengenai judicial review UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) membawa konsekuensi baru. Dalam putusan itu MK menyatakan Penjelasan Pasal 74 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum yang mengikat, sepanjang tidak dimaknai sebagai “penyidik tindak pidana asal adalah pejabat atau instansi yang oleh peraturan perundang-undangan diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan. Dengan tidak dihapusnya pasal 74 tersebut, harapan untuk mewujudkan multi-investigation akan sulit tercapai, karena ada batasan kewenangan dalam penyidikan.

Selain itu aturan tentang penegakan hukum di bidang kehutanan dan lingkungan hidup dan TPPU masih tersebar di beberapa Undang – Undang dan Peraturan.  Belum adanya pengetahuan dan pemahaman yang menyeluruh tentang pasal – pasal yang dapat dikenakan sebagai TPPU yang bersumber dari UU dan regulasi lain tersebut di membuat Penyidik dan Penegak Hukum kemudian menyulitkan penyidik untuk melihat peraturan dan perundang – undangan secara komprehensif dalam melakukan penegakan hukum sehingga tuntutan dan hukuman terhadap pelaku tindak pidanan kehutanan dan lingkungan hidup rendah, sehingga tidak menimbulkan efek jera.

Persoalan lain, banyaknya pengaduan masyarakat atau pelapor terkait TPPU di sektor Lingkungan Hidup dan kehutanan tidak dapat dilanjutkan / ditolak karena kurang atau tidak sesuai alat bukti serta format yang beragam. Hal ini terjadi karena belum adanya format baku pelaporan TPPU di sektor LHK yang dapat digunakan masyarakat, sehingga masyarakat enggan memberikan laporan jika belum ada aturan yang jelas tentang format laporan yang harus dibuat.

Untuk mengatasi kedua permasalahan di atas, IWGFF melakukan beberapa aktivitas;

  1. Melakukan kajian-kajian kebijakan yang terkait langsung dengan pengelolaan dan pemanfaatan atas sumber daya alam.
  2. Melakukan dialog-dialog kebijakan dengan kalangan pemerintah, legislatif, akademisi, kelompok-kelompok masyarakat, dan dunia.
  3. Melakukan kampanye – advokasi dan mendorong penegak hukum di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam.
  4. Mengembangkan strategi pelatihan pendidikan (capacity building) bagi para pihak dalam upaya membangun rasa kepedulian dan pengelolaan sumber daya alam berkeadilan.
  5. Melakukan kegiatan-kegiatan penyebaran informasi melalui media-media komunikasi dan publikasi yang bersifat membangun kesadaran kritis serta mengembangkan wacana-wacana positif bagi publik.
  6. Mengusahakan dan membangun jaringan kerja dengan pihak lain baik secara nasional maupun internasional dalam rangka mewujudkan visi misi Perkumpulan.

Aktivitas IWGFF ini dapat berkontribusi mengatasi kedua permasalahan tersebut dalam upaya Menuju Tata Kelola Keuangan Sumber Daya Alam Yang Baik dapat terwujud untuk Nusantara Baru, Indonesia Maju. IWGFF/08/2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *