Oleh: Marius Gunawan – Profesional

12 Juni 2025   14:53

 

“Bumi ini bukan warisan nenek moyang kita, melainkan pinjaman dari anak cucu kita.” – Pepatah Indian Kuno

 

Raja Ampat, Surga yang Terancam

Raja Ampat, gugusan pulau tropis nan elok di ujung barat Papua, bukan hanya simbol kekayaan hayati Indonesia, tetapi juga bagian dari warisan dunia yang menjadi kebanggaan negeri. Namun, baru-baru ini, pesona ini kembali diuji ketika empat perusahaan tambang nikel dicabut izinnya oleh pemerintah karena indikasi pelanggaran lingkungan. Langkah ini lahir dari kampanye panjang, advokasi masyarakat sipil, dan hasil kunjungan serta riset lapangan yang membuktikan ancaman nyata terhadap lingkungan.

Pemerintah akhirnya bertindak. Tapi pertanyaannya, mengapa baru sekarang? Dan apakah ini cukup?

 

Eksploitasi Sumber Daya Alam: Masalah Sistemik

Kasus Raja Ampat bukanlah insiden pertama. Jauh sebelumnya, Indonesia telah menyaksikan kerusakan besar akibat eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang tidak terkendali. Kita mengenal luka ekologis di Kalimantan akibat tambang batubara, hutan-hutan Papua yang ditebang demi emas, atau Kepulauan Bangka Belitung yang rusak oleh tambang timah. Kini, demam nikel—yang konon demi transisi energi global—mengancam kawasan-kawasan konservasi.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2023 mencatat laju deforestasi Indonesia mencapai 119.000 hektar per tahun. Meskipun angka ini menurun dari tahun-tahun sebelumnya, kualitas hutan yang tersisa—terutama hutan primer dan kawasan lindung—terus menurun. Global Forest Watch melaporkan Indonesia kehilangan lebih dari 9 juta hektar hutan primer sejak tahun 2002, dengan puncak kerusakan terjadi akibat pembukaan lahan dan kegiatan tambang.

Kehilangan tutupan hutan bukan hanya soal pohon. Ia memengaruhi iklim mikro, mengganggu daur air, mengikis kesuburan tanah, hingga meningkatkan risiko bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran gambut. Bahkan, kontribusi Indonesia terhadap emisi karbon global secara signifikan berasal dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Land Use, Land Use Change and Forestry/LULUCF), mencapai sekitar 60% dari total emisi nasional (Data Bappenas, 2023).

 

Pertambangan Terbuka: Luka Menganga di Tubuh Bumi

Apa yang membuat tambang begitu merusak? Pertambangan terbuka (open pit mining) adalah jawabannya. Metode ini menciptakan lubang raksasa di permukaan bumi, menghancurkan ekosistem, mencemari air dan udara, serta kerap meninggalkan kerusakan permanen jika tidak direklamasi. Dalam banyak kasus, reklamasi hanya menjadi formalitas administratif—jauh dari pelaksanaan nyata.

Selain itu, AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sering kali menjadi alat formalitas yang mudah “dipesan”. Proses perizinan sarat suap, dan penegakan hukum nyaris nihil. Seperti yang diungkap Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2022, sektor pertambangan adalah salah satu yang paling rentan terhadap praktik korupsi, terutama dalam proses perizinan dan pengawasan.

 

Kembali ke Raja Ampat: Langkah Awal yang Tak Boleh Berhenti

Keputusan mencabut izin 4 perusahaan tambang nikel di Raja Ampat tentu patut diapresiasi. Tapi ini hanyalah langkah awal. Tanpa reformasi sistemik, kejadian serupa akan terus berulang. Penataan ulang harus menyasar empat titik kritis:

  1. Reformasi Perizinan: Sistem OSS (Online Single Submission) yang digunakan pemerintah perlu dilengkapi dengan mekanisme verifikasi lapangan dan pelibatan masyarakat adat.
  2. AMDAL yang Independen dan Terbuka: Harus ada audit lingkungan oleh lembaga independen, bukan sekadar formalitas birokratis.
  3. Pengawasan Aktif: Kementerian ESDM, KLHK, dan pemerintah daerah wajib bersinergi dalam melakukan patroli rutin dan pengawasan berbasis teknologi (satellite monitoring, drone).
  4. Penegakan Hukum Tegas: Hukum harus tegas tanpa kompromi. Korporasi yang merusak harus disanksi, termasuk denda, pencabutan izin, dan tuntutan pidana jika perlu.

 

Bukan Antitambang, Tapi Prokeadilan

Penting untuk dicatat, kritik terhadap pertambangan bukan berarti anti-kemajuan. Energi, logam, dan mineral adalah kebutuhan global. Tapi, sebagaimana ditegaskan dalam Konstitusi Pasal 33 UUD 1945, pengelolaan sumber daya alam harus “sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Pertanyaannya: rakyat yang mana?

Apakah masyarakat adat yang terusir dari tanahnya? Apakah anak-anak yang kehilangan sumber air bersih? Atau hanya segelintir elite dan korporasi yang diuntungkan?

Seperti diingatkan oleh filsuf Hans Jonas dalam The Imperative of Responsibility (1979), “Tindakan kita hari ini harus mempertimbangkan dampaknya terhadap masa depan, karena teknologi modern memungkinkan kehancuran yang tak dapat diperbaiki.” Kutipan ini relevan dalam menggambarkan tanggung jawab generasi kini terhadap masa depan bumi.

 

Akhirnya, Haruskah Kita Korbankan Alam Demi Keuntungan Ekonomi Sesaat?

Saat dunia sedang giat melawan perubahan iklim, Indonesia tidak boleh terjebak pada logika keuntungan jangka pendek. Keindahan Raja Ampat, kekayaan hutan Kalimantan, dan kearifan masyarakat adat Papua bukanlah komoditas yang bisa ditukar dengan nilai ekspor logam atau angka pertumbuhan PDB semata.

Jika kita terus mengorbankan alam untuk pertambangan yang tidak terkendali, maka bencana akan datang tanpa permisi: banjir yang menyapu desa, longsor yang menelan nyawa, dan udara penuh asap yang mengurung anak-anak di rumah.

Kini saatnya kita memilih: ekonomi sesaat atau keberlanjutan masa depan?

 

Akhir Kata: Harapan di Tengah Krisis

Perubahan bukan tidak mungkin. Dengan tata kelola yang adil, transparan, dan partisipatif, Indonesia bisa menjadi contoh dunia: negara yang kaya sumber daya alam, namun tidak rakus; negara yang tumbuh secara ekonomi, tapi juga merawat alamnya.

Karena pada akhirnya, seperti kata Mahatma Gandhi:

“Bumi ini menyediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap manusia, tetapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan setiap orang.”

 

Sumber: Kompasiana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *