Masyarakat lokal harus menjadi subyek pembangunan yang memiliki hak, suara, dan peluang yang sama.
Oleh Raja Juli Antoni
03 Jun 2025 14:00 WIB Artikel Opini
Dunia tengah menghadapi babak baru krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Munculnya fenomena triple planetary crisis yang ditandai oleh perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi bukan lagi sekadar diskursus publik, melainkan menjadi fakta yang menghantui masa depan bumi.
Dalam pertemuan internasional tingkat tinggi Stockholm+50, 2–3 Juni 2022, di Swedia, fakta-fakta mencengangkan terungkap. Setiap tahun, sekitar 10 juta hektar hutan hilang dan menyebabkan 1 juta spesies hewan serta tumbuhan berada di ambang kepunahan. Kondisi ini diperkirakan kian memburuk dan 1,2 miliar orang diperkirakan akan mengungsi pada 2050.
Semua ini akibat ekspansi manusia yang kian tak terkendali. Fenomena ini, seperti dijelaskan Ellwanger dan Chies (2025), merupakan simpul dari krisis ekologi dan sosial yang berdampak sistemik. Dunia sedang berdiri di persimpangan jalan dan masa depan hutan menjadi titik kulminasi yang menentukan arah peradaban dan krisis dunia di masa mendatang, tak terkecuali bagi Indonesia.
Prioritas kebijakan kehutanan
Merespons fenomena ini, Presiden Prabowo memberikan pesan yang jelas. Arah kebijakan kehutanan harus mampu menyeimbangkan tiga pilar utama, yakni pelestarian hutan, pembangunan berkelanjutan, dan kesejahteraan masyarakat.
Tiga komponen ini tak boleh bertabrakan dan harus saling menguatkan. Skema perhutanan sosial, restorasi ekosistem, dan investasi hijau sebagai jalan tengah untuk menjaga fungsi ekologis sekaligus membuka ruang bagi kesejahteraan rakyat.
Maka, pembangunan tetap harus berjalan. Pembangunan yang tak menghancurkan hutan, tetapi tumbuh bersama hutan. Membawa keadilan ekologis dan keadilan sosial secara bersamaan. Pelestarian berjalan berdampingan dengan pertumbuhan ekonomi hijau.
Masyarakat lokal harus menjadi subyek pembangunan yang memiliki hak, suara, dan peluang yang sama.
Pemerintahan Kabinet Merah Putih, melalui Kementerian Kehutanan, telah menyusun lima program prioritas strategis yang berpijak pada prinsip transparansi, keadilan, dan keberlanjutan. Lima program ini menunjukkan pijakan yang kuat bagi pembangunan hutan.
Antara lain, pertama, digitalisasi layanan kehutanan sebagai bentuk modernisasi tata kelola hutan. Melalui sistem digital, masyarakat dapat mengakses data dan proses perizinan dengan lebih mudah dan transparan. Proses yang dulunya panjang dan rawan penyimpangan kini dipangkas menjadi efisien dan akuntabel.
Kedua, penguasaan hutan yang berkeadilan. Kemenhut membuka ruang bagi masyarakat adat dan lokal yang selama ini tersisih. Mereka diberi akses legal dan pelindungan hukum atas hutan yang secara historis jadi bagian dari identitas dan penghidupan mereka.
Ketiga, pemanfaatan hutan untuk swasembada pangan. Lewat pendekatan agroforestri, kawasan hutan dikelola untuk menghasilkan pangan secara lestari, seperti tanaman aren, kopi, dan kakao ditanam bersama pepohonan hutan, menjaga ekosistem sekaligus menyediakan pangan dan ekonomi.
Keempat, melindungi hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia. Pelindungan keanekaragaman hayati, restorasi lahan kritis, serta pengendalian deforestasi menjadi bagian dari komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi karbon dan menjawab krisis iklim.
Kelima, one map policy, seluruh pemetaan kehutanan disatukan secara nasional untuk menghindari tumpang tindih dan konflik lahan, sekaligus memperkuat dasar pengambilan kebijakan yang berbasis data akurat.
Kebijakan ini merupakan permulaan dari kerja panjang. Dibutuhkan implementasi yang konsisten dan berkelanjutan, kolaborasi lintas sektor, serta partisipasi aktif masyarakat sebagai kunci keberhasilan. Kita tak bisa berharap kepada pemerintah saja. Semua pemangku kepentingan dan elemen bangsa punya peran sama, menjaga hutan tetap lestari dan produktif.
“Good forest governance”
Ketika berbicara soal hutan, saya selalu teringat pada satu kalimat yang menggugah, ”hutan bukan warisan orangtua kita, tetapi hutan adalah titipan dari generasi yang akan datang”. Ini sebagai refleksi kritis yang mengandung peringatan moral atas tanggung jawab kita hari ini. Hutan bukan warisan yang bebas kita eksploitasi.
Hutan adalah titipan generasi mendatang. Cara kita mengelolanya akan menjadi cermin dari nilai kemanusiaan kita di mata sejarah. Oleh karena itu, dibutuhkan transformasi tata kelola hutan yang baik. Yang menekankan pada kelestarian, produktivitas, dan partisipatif.
Menurut inisiatif Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (UN-REDD), tata kelola hutan yang baik ditandai oleh kepatuhan terhadap hukum, tingkat transparansi yang tinggi dan korupsi yang rendah, partisipasi pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan, jaminan kesetaraan hak, serta akuntabilitas yang kuat.
Tata kelola yang baik juga harus memiliki seperangkat regulasi yang koheren antarsektor, penerapan hukum yang tepat dan konsisten, stabilitas politik memadai, dan kapasitas kelembagaan yang kuat.
Dengan kata lain, tata kelola hutan yang baik bukan hanya soal dokumen dan regulasi, melainkan bagaimana semua itu dijalankan secara adil, transparan, dan berpihak pada keberlanjutan jangka panjang. Semua ini membutuhkan komitmen kuat dari semua pemangku kepentingan, tanpa terkecuali.
Apalagi tantangan dalam tata kelola hutan akan semakin berat. Arun Agrawal et al (2008) mengingatkan bahwa meningkatnya dan bersaingnya permintaan terhadap pangan, biofuel, kayu, serta jasa lingkungan akan memberi tekanan besar terhadap hutan, apalagi dengan adanya dampak langsung dan tidak langsung dari perubahan iklim. Jika tata kelola kita tidak cukup kuat dan adaptif, masa depan hutan akan kian rapuh.
Oleh sebab itu, kelima program prioritas Kementerian Kehutanan sejatinya merupakan bentuk konkret dari penerjemahan prinsip-prinsip tata kelola hutan yang baik (good forest governance).
Menegaskan bahwa hutan bagian dari jaringan sosial masyarakat yang menopang ketahanan air, energi, pangan, dan bahkan peradaban. Hutan bukan hanya soal hari ini. Hutan adalah narasi tentang masa depan.
Raja Juli Antoni, Menteri Kehutanan Republik Indonesia
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/krisis-dunia-dan-tata-kelola-hutan-2?open_from=Search_Result_Page