KEBIJAKAN
Program Green Energy Indonesia Hanya Ikut-ikutan?
13 Februari 2025 08:06
Indonesia kembali menghadapi dilema dalam kebijakan energi. Pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang mengisyaratkan bahwa Indonesia mungkin mengikuti langkah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan tetap bergantung pada energi fosil menimbulkan tanda tanya besar.
Bahlil secara terbuka mengakui bahwa kebangkitan kembali Trump ke Gedung Putih dapat mengubah peta dunia terhadap desain energi. Ia menyebut bahwa batu bara, yang sempat mendapat tekanan kuat untuk dihentikan, kini justru kembali mendapatkan “perpanjangan napas.”
“Kita pikir batu bara sudah mau selesai, eh bernyawa lagi barang ini. Jadi bapak ibu semua, memang batu bara ini jujur saya katakan harganya jauh lebih murah,” ujar Bahlil di sela Mandiri Investment Forum, Rabu (12/2/2025).
Pernyataan ini seolah menunjukkan bahwa transisi energi hijau di Indonesia bukanlah inisiatif nasional yang kokoh, melainkan hanya mengikuti tren global. Jika negara-negara besar mundur dari komitmen energi hijau, maka Indonesia pun ikut ragu. Lantas, apakah transisi energi di Indonesia hanya sebatas wacana tanpa komitmen nyata?
Indonesia dan Perjanjian Paris: Komitmen yang Dipertanyakan
Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris melalui UU No. 16 Tahun 2016, yang mewajibkan negara untuk menekan emisi gas rumah kaca guna mencegah kenaikan suhu global melebihi 2C dan berupaya maksimal menekan kenaikan hingga 1,5C.
Dalam Enhanced Nationally Determined Contributions (ENDC) 2022, Indonesia berkomitmen untuk:
Menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% secara mandiri
Menurunkan emisi hingga 43,20% dengan bantuan internasional
Namun, pernyataan Bahlil menimbulkan pertanyaan: apakah Indonesia masih serius dengan komitmen ini? Apakah janji transisi energi hanya sebatas formalitas agar terlihat selaras dengan agenda global?
Batu Bara: Energi Murah, tapi Berisiko
Tidak bisa dipungkiri bahwa batu bara masih menjadi tulang punggung energi Indonesia. Data dari Kementerian ESDM (2024) menunjukkan bahwa bauran energi nasional masih didominasi oleh batu bara:
Batu bara: 61%
Gas alam: 19%
Energi baru terbarukan (EBT): 12%
Minyak bumi: 8%
Keunggulan batu bara memang terletak pada biaya produksi yang murah. Namun, penggunaan batu bara berkontribusi besar terhadap polusi udara dan perubahan iklim.
Menurut Climate Action Tracker, Indonesia masuk dalam kategori “Highly Insufficient” dalam penanganan perubahan iklim. Artinya, jika terus bergantung pada batu bara, Indonesia berisiko tertinggal dalam transisi energi global dan menghadapi dampak buruk dari pemanasan global, termasuk:
Naiknya suhu rata-rata yang memicu cuaca ekstrem
Meningkatnya permukaan air laut yang mengancam wilayah pesisir
Menurunnya kualitas udara akibat polusi dari PLTU batu bara
Indonesia, Trump, dan Arah Transisi Energi
Sejak awal, Trump memang dikenal sebagai tokoh yang skeptis terhadap perubahan iklim. Saat menjabat sebagai Presiden AS (2017-2021), ia menarik negaranya dari Paris Agreement dan lebih memilih menggenjot industri energi fosil demi pertumbuhan ekonomi.
Namun, apakah mengikuti jejak Trump adalah langkah yang tepat bagi Indonesia?
Beberapa negara justru semakin gencar melakukan transisi energi hijau meskipun ada hambatan geopolitik:
Uni Eropa mempercepat investasi dalam energi terbarukan guna mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
China tetap menjadi pemimpin dalam produksi panel surya dan turbin angin, meskipun juga memiliki industri batu bara yang besar.
India meningkatkan target kapasitas energi terbarukan hingga 500 GW pada 2030.
Jika Indonesia memilih untuk kembali bergantung pada batu bara, maka ada dua skenario yang bisa terjadi:
- Dalam jangka pendek, biaya listrik bisa tetap murah, tetapi ketergantungan ini dapat menghambat investasi hijau dan memperburuk krisis lingkungan.
- Dalam jangka panjang, Indonesia bisa kehilangan daya saing global karena dunia semakin bergerak ke arah energi hijau.
Jalan Tengah: Realisme atau Keberanian?
Indonesia tentu tidak bisa serta-merta meninggalkan batu bara karena masih menjadi sumber energi utama. Namun, ada beberapa langkah yang bisa diambil agar transisi energi tetap berjalan tanpa mengganggu stabilitas ekonomi:
- Membatasi Penggunaan Batu Bara Secara Bertahap
Alih-alih menghentikan penggunaan batu bara secara drastis, Indonesia bisa menerapkan kebijakan bertahap, seperti:
Melakukan early retirement pada PLTU tua yang sudah tidak efisien
Memprioritaskan pembangunan PLTS dan PLTB di wilayah dengan potensi besar
- Mempercepat Investasi dalam Energi Hijau
Meskipun transisi membutuhkan biaya besar, investasi dalam energi terbarukan memiliki potensi jangka panjang yang menguntungkan. Pemerintah bisa:
Mendorong pendanaan hijau melalui obligasi hijau (green bond)
Memberikan insentif bagi industri yang berinvestasi dalam energi bersih
- Mengembangkan Teknologi Carbon Capture
Jika batu bara tetap digunakan, maka teknologi penangkapan karbon (Carbon Capture and Storage – CCS) bisa menjadi solusi sementara untuk mengurangi emisi.
- Menjaga Konsistensi Kebijakan
Ketidakpastian kebijakan adalah hambatan utama bagi investor energi hijau. Jika pemerintah terus mengubah arah kebijakan tergantung tren global, maka dunia usaha akan ragu untuk berinvestasi di sektor ini.
Kesimpulan: Maju atau Mundur?
Pernyataan Bahlil Lahadalia menunjukkan bahwa transisi energi Indonesia masih jauh dari kata pasti. Alih-alih menjadi pemimpin dalam energi hijau, Indonesia tampak masih menunggu arah kebijakan negara-negara besar.
Namun, mengikuti langkah Trump bukanlah pilihan bijak bagi Indonesia. Dengan potensi energi terbarukan yang besar, Indonesia seharusnya memiliki strategi sendiri yang lebih mandiri dan berkelanjutan.
Transisi energi bukan hanya tentang mengikuti tren, tetapi tentang membangun masa depan yang lebih bersih, aman, dan berdaya saing. Jika terus berpatokan pada energi fosil, Indonesia bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga kehilangan peluang emas untuk menjadi pemain utama dalam revolusi energi global.
Kini, pilihan ada di tangan pemerintah: akan tetap bergantung pada batu bara atau berani berinvestasi untuk masa depan energi yang lebih hijau?***
Penulis Marius Gunawan
Konsultan – Profesional
Sumber: Kompasiana