Oleh: Marius Gunawan/Forestry & Environmental Expert IWGFF
Baru-baru ini, kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengungkapkan alasan mengapa investasi hijau seperti Tesla enggan masuk ke Indonesia. Alasan utama yang diutarakan adalah belum tersedianya ekosistem yang mendukung, khususnya energi hijau atau energi terbarukan yang diperlukan untuk memenuhi standar keberlanjutan yang ditetapkan oleh perusahaan global. Meskipun Indonesia memiliki ambisi besar dalam melakukan pembangunan berkelanjutan, kenyataannya, investasi hijau masih berjalan lambat. Padahal, seiring dengan perubahan iklim global dan meningkatnya permintaan energi bersih, investasi hijau memainkan peran vital dalam pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan.
Potensi Investasi Hijau di Indonesia
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menarik investasi hijau, terutama di sektor energi terbarukan. Potensi energi terbarukan Indonesia tersebar di beberapa sumber, seperti tenaga surya, angin, air, dan panas bumi. Berikut adalah beberapa data terkait potensi energi terbarukan di Indonesia:
Tenaga Surya: Indonesia memiliki potensi energi surya sebesar 207,8 GWp (Gigawatt peak). Potensi ini sangat besar mengingat Indonesia berada di kawasan tropis dengan paparan sinar matahari sepanjang tahun.
Panas Bumi: Indonesia merupakan salah satu negara dengan sumber daya panas bumi terbesar di dunia, memiliki potensi sekitar 23,9 GW. Saat ini, Indonesia baru memanfaatkan sekitar 2,1 GW dari total potensi ini.
Energi Air: Potensi tenaga air di Indonesia mencapai 75 GW, namun yang baru terpasang hanya sekitar 6 GW.
Tenaga Angin: Potensi tenaga angin Indonesia mencapai 60,6 GW, meskipun utilisasinya masih sangat rendah.
Sayangnya, meskipun potensi energi terbarukan ini sangat besar, realisasi investasi di sektor energi terbarukan masih sangat terbatas. Hingga 2023, hanya sekitar 11,5% dari total bauran energi Indonesia yang berasal dari energi terbarukan, jauh di bawah target pemerintah sebesar 23% pada 2025.
Kebutuhan Investasi Hijau di Indonesia
Untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025, Indonesia membutuhkan investasi besar. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia membutuhkan sekitar USD 36 miliar (setara dengan Rp540 triliun) untuk membiayai proyek-proyek energi terbarukan hingga 2025. Investasi ini akan mencakup pembangunan pembangkit listrik tenaga surya, air, angin, dan panas bumi, serta infrastruktur pendukung seperti transmisi listrik dan penyimpanan energi.
Namun, hingga saat ini, realisasi investasi hijau di Indonesia masih sangat minim dibandingkan kebutuhan tersebut. Salah satu contoh adalah Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terapung Cirata, yang merupakan salah satu proyek energi terbarukan terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 145 MW. Proyek ini merupakan hasil investasi senilai USD 129 juta, tetapi jika dibandingkan dengan kebutuhan energi terbarukan yang jauh lebih besar, investasi ini masih jauh dari cukup.
Tantangan Mendapatkan Investasi Hijau
Mengapa investasi hijau, termasuk dari perusahaan seperti Tesla, belum masuk secara signifikan ke Indonesia? Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat utama:
Ketersediaan Energi Hijau: Banyak perusahaan multinasional, termasuk Tesla, memiliki komitmen yang ketat untuk menggunakan energi hijau dalam rantai pasokan mereka. Mereka membutuhkan pasokan listrik yang berasal dari sumber energi terbarukan, namun Indonesia masih bergantung pada batu bara untuk sekitar 60% pembangkitan listriknya. Hal ini membuat perusahaan hijau enggan berinvestasi karena tidak ada jaminan bahwa energi yang mereka gunakan akan bersih.
Kebijakan dan Regulasi: Regulasi yang mendukung investasi hijau di Indonesia masih dianggap kurang menarik. Prosedur perizinan yang rumit dan inkonsistensi kebijakan energi membuat investor enggan berkomitmen pada proyek jangka panjang di sektor ini.
Infrastruktur Energi Terbarukan: Infrastruktur energi terbarukan, terutama jaringan transmisi dan penyimpanan energi, masih sangat terbatas. Hal ini membuat proyek energi terbarukan seringkali tidak ekonomis karena biaya pengembangan dan distribusinya yang tinggi.
Green Financing yang Terbatas: Pendanaan hijau, atau green financing, masih minim di Indonesia. Padahal, keberadaan pendanaan hijau sangat penting untuk mendukung proyek-proyek berkelanjutan.
Green Financing: Kunci Pembangunan Berkelanjutan
Green financing adalah aspek yang sangat penting dalam menarik investasi hijau. Pendanaan hijau merujuk pada berbagai sumber pembiayaan yang disediakan untuk proyek-proyek yang ramah lingkungan, seperti energi terbarukan, pengelolaan limbah, dan pembangunan infrastruktur hijau. Namun, pendanaan hijau di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan utama dalam Green Financing:
Kurangnya Kesadaran dan Edukasi: Banyak lembaga keuangan di Indonesia belum sepenuhnya memahami konsep green financing dan bagaimana cara menilai risiko dan peluang yang terkait dengan proyek hijau. Akibatnya, akses ke pendanaan untuk proyek hijau masih terbatas.
Risiko Tinggi pada Proyek Hijau: Banyak investor masih melihat proyek hijau sebagai proyek berisiko tinggi, terutama karena ketidakpastian regulasi, infrastruktur yang belum memadai, dan biaya awal yang tinggi.
Kurangnya Insentif Pemerintah: Meskipun pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen terhadap pembangunan hijau, insentif fiskal dan kebijakan yang mendukung investasi hijau masih belum maksimal. Investor membutuhkan insentif yang jelas untuk mendukung proyek hijau yang berbiaya lebih tinggi dibandingkan dengan proyek konvensional.
Sumber Pendanaan Hijau
Meskipun green financing masih minim, ada beberapa sumber pendanaan hijau yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia, baik dari dalam negeri maupun luar negeri:
Green Bonds: Pemerintah Indonesia telah menerbitkan obligasi hijau atau green bonds sejak 2018, yang dirancang untuk mendanai proyek-proyek ramah lingkungan. Hingga saat ini, Indonesia telah menerbitkan lebih dari USD 2 miliar dalam bentuk green bonds, namun ini masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan investasi hijau nasional.
Pendanaan Internasional: Ada beberapa lembaga internasional seperti Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), dan Green Climate Fund (GCF) yang menyediakan pendanaan hijau untuk negara-negara berkembang. Indonesia juga dapat menarik lebih banyak investasi hijau dengan memanfaatkan pendanaan dari lembaga-lembaga ini.
Private Equity dan Venture Capital: Sejumlah perusahaan investasi swasta telah mulai berfokus pada proyek-proyek hijau, terutama di sektor energi terbarukan. Namun, investasi ini masih terbatas dan perlu didorong melalui kebijakan yang lebih mendukung.
Apa yang Diperlukan untuk Mendukung Green Financing?
Untuk meningkatkan akses terhadap green financing dan mempercepat masuknya investasi hijau, ada beberapa langkah yang perlu diambil oleh pemerintah dan sektor swasta di Indonesia:
Meningkatkan Regulasi yang Ramah Investasi Hijau: Pemerintah harus memperkuat regulasi yang mendukung investasi hijau, termasuk memberikan insentif fiskal, mempercepat perizinan, dan memberikan kepastian hukum bagi investor.
Meningkatkan Kesadaran di Lembaga Keuangan: Bank dan lembaga keuangan lainnya perlu didorong untuk memahami manfaat green financing dan bagaimana cara menilai proyek hijau dengan lebih baik. Program edukasi dan pelatihan harus diperluas untuk membantu mereka menilai risiko dan peluang dari proyek hijau.
Membangun Infrastruktur Energi Terbarukan: Pemerintah perlu meningkatkan investasi dalam infrastruktur energi terbarukan, termasuk jaringan transmisi dan penyimpanan energi. Hal ini akan mengurangi biaya dan risiko bagi investor hijau dan memungkinkan lebih banyak proyek hijau terhubung ke jaringan listrik nasional.
Mendorong Partisipasi Swasta: Pemerintah harus mendorong lebih banyak partisipasi sektor swasta dalam green financing melalui kerjasama publik-swasta dan pemberian insentif yang menarik.
Meskipun Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat investasi hijau di Asia Tenggara, tantangan seperti keterbatasan energi hijau, infrastruktur yang belum memadai, dan pendanaan hijau yang minim masih menjadi penghalang. Untuk menarik lebih banyak investasi hijau seperti dari Tesla dan perusahaan lainnya, Indonesia perlu menciptakan lingkungan yang mendukung melalui regulasi yang lebih baik, pengembangan infrastruktur energi terbarukan, dan peningkatan akses terhadap green financing. Dengan komitmen yang kuat dari pemerintah dan dukungan sektor swasta, Indonesia dapat menjadi pemimpin dalam pembangunan berkelanjutan dan energi hijau di masa depan. ***MG
Sumber Bacaan:
Asian Development Bank (ADB). (2021). Financing for a Green Future: Developing Countries and Green Investment Opportunities. Manila: ADB.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). (2023). Laporan Perkembangan Investasi Triwulan I Tahun 2023. Jakarta: BKPM.
Bank Dunia. (2020). Indonesia – A Roadmap for Green Investment. Washington, D.C.: The World Bank.
Green Climate Fund (GCF). (2023). Green Financing and Sustainable Development in Southeast Asia. Songdo: GCF. International Energy Agency (IEA). (2023). World Energy Investment Report 2023. Paris: IEA
International Renewable Energy Agency (IRENA). (2021). Renewable Energy Statistics 2021. Abu Dhabi: IRENA.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). (2023). Potensi dan Pengembangan Energi Baru Terbarukan di Indonesia. Jakarta: KESDM.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2022). Laporan Green Sukuk: Mendukung Pembiayaan Proyek Ramah Lingkungan. Jakarta: Kementerian Keuangan.