Oleh: Marius Gunawan
IWGFF Forestry and Environmental Expert
Program FOLU (Forestry and Other Land Use) Net Sink 2030 adalah inisiatif penting Indonesia yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dihasilkan dan yang diserap oleh sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya. Melalui program ini, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK secara signifikan, sejalan dengan upaya global untuk mengatasi perubahan iklim. Program ini menjadi krusial, mengingat sektor kehutanan dan penggunaan lahan merupakan salah satu sumber utama emisi GRK di Indonesia.
Untuk mencapai target ambisius tersebut, diperlukan pendanaan yang signifikan. Di sinilah topik utama artikel ini, yaitu pentingnya pendanaan hijau atau Green Finance, menjadi sangat relevan. Pendanaan hijau akan menjadi kunci untuk mendukung berbagai inisiatif yang dibutuhkan dalam program FOLU Net Sink 2030, mulai dari reforestasi hingga pengembangan teknologi hijau.
FOLU (Forestry and Other Land Use) adalah sektor yang mencakup berbagai aktivitas manusia terkait dengan pengelolaan hutan dan lahan, termasuk deforestasi, reforestasi, konservasi hutan, dan perubahan penggunaan lahan. Sektor ini memiliki peran signifikan dalam mengurangi atau meningkatkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) karena hutan dan lahan berfungsi sebagai penyerap karbon alami, yang menyerap dan menyimpan karbon dioksida (CO2) dari atmosfer. Oleh karena itu, pengelolaan yang tepat dalam sektor FOLU dapat menjadi alat penting dalam mitigasi perubahan iklim global.
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan luas hutan tropis terbesar di dunia, telah berkomitmen untuk memanfaatkan potensi sektor FOLU dalam upaya mengurangi emisi GRK. Salah satu inisiatif utama yang diusung oleh Indonesia adalah FOLU Net Sink 2030, sebuah program yang bertujuan untuk mencapai kondisi di mana sektor FOLU di Indonesia menyerap lebih banyak karbon daripada yang dilepaskan, sehingga menjadi “net sink” atau penyerap karbon bersih pada tahun 2030.[1]
Target Indonesia untuk Mencapai Emisi GRK Nol Bersih dari Sektor FOLU pada Tahun 2030
Sebagai bagian dari komitmen global dalam Kesepakatan Paris, Indonesia telah memperbarui Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (Nationally Determined Contribution, NDC), yang menyatakan target ambisius untuk mencapai emisi GRK nol bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat. Dalam konteks ini, FOLU Net Sink 2030 menjadi salah satu langkah strategis untuk mencapai target tersebut. Melalui program ini, Indonesia bertujuan untuk menyeimbangkan emisi dan penyerapan karbon di sektor FOLU, dengan target mencapai nol emisi bersih pada tahun 2030. Hal ini tidak hanya melibatkan upaya pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, tetapi juga mencakup kegiatan restorasi hutan, penanaman kembali, dan perlindungan ekosistem yang ada.[2]
Keberhasilan FOLU Net Sink 2030 akan bergantung pada berbagai faktor, termasuk penerapan kebijakan yang efektif, partisipasi berbagai pemangku kepentingan, serta dukungan finansial yang memadai untuk mendanai berbagai inisiatif yang diperlukan. Oleh karena itu, pengembangan dan penerapan strategi yang komprehensif dan terkoordinasi menjadi krusial untuk memastikan bahwa Indonesia dapat memenuhi komitmen iklimnya melalui sektor FOLU.[3]
Pentingnya Green Finance
Green finance, atau pembiayaan hijau, adalah konsep yang mengacu pada praktik mengalirkan dana untuk mendukung proyek-proyek yang memiliki manfaat lingkungan atau yang mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Ini mencakup berbagai instrumen keuangan, seperti green bonds (obligasi hijau), pinjaman hijau, dan investasi berkelanjutan, yang dirancang khusus untuk mendukung proyek-proyek yang berfokus pada pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), konservasi sumber daya alam, dan pemulihan ekosistem.[4]
Konsep green finance menjadi semakin penting dalam konteks perubahan iklim global. Dengan meningkatnya kesadaran akan dampak negatif perubahan iklim, berbagai negara, lembaga keuangan, dan organisasi internasional telah menyadari perlunya investasi besar-besaran dalam proyek-proyek yang dapat mengurangi emisi GRK dan mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon. Organisasi internasional seperti Bank Dunia, International Finance Corporation (IFC), dan Asian Development Bank (ADB) telah mengadopsi green finance sebagai bagian dari strategi mereka untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.[5]
Green finance tidak hanya relevan dalam konteks mitigasi perubahan iklim, tetapi juga berperan penting dalam adaptasi. Dalam banyak kasus, negara-negara berkembang membutuhkan dana untuk membangun infrastruktur yang tahan terhadap perubahan iklim, seperti peningkatan sistem irigasi, pengelolaan sumber daya air yang lebih baik, dan pembangunan kota yang lebih ramah lingkungan. Dengan demikian, green finance menjadi kunci untuk mencapai target iklim global yang ditetapkan dalam Kesepakatan Paris, di mana negara-negara berkomitmen untuk menjaga peningkatan suhu global di bawah 2°C, dengan upaya lebih lanjut untuk membatasi peningkatan tersebut hingga 1,5°C.[6]
Bagaimana Green Finance Dapat Mendukung Inisiatif seperti FOLU Net Sink 2030
Dalam konteks Indonesia, green finance memainkan peran sentral dalam mendukung inisiatif-inisiatif nasional seperti FOLU Net Sink 2030. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, FOLU (Forestry and Other Land Use) Net Sink 2030 adalah program ambisius yang bertujuan untuk mencapai emisi GRK nol bersih dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan pada tahun 2030. Untuk mencapai target ini, diperlukan investasi besar-besaran dalam berbagai kegiatan, seperti reforestasi, rehabilitasi lahan terdegradasi, perlindungan hutan yang ada, serta pengembangan teknologi untuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
Di sinilah green finance berperan. Green finance dapat menyediakan sumber daya keuangan yang diperlukan untuk mendukung implementasi kegiatan-kegiatan ini. Misalnya, penerbitan green bonds oleh pemerintah atau perusahaan swasta dapat digunakan untuk mengumpulkan dana yang akan dialokasikan untuk proyek reforestasi besar-besaran. Selain itu, pinjaman hijau dapat diberikan kepada komunitas lokal dan perusahaan kecil yang terlibat dalam praktik-praktik pengelolaan lahan yang berkelanjutan.[7]
Lebih jauh lagi, green finance juga dapat mengurangi risiko investasi dalam proyek-proyek hijau dengan menyediakan mekanisme penjaminan dan asuransi yang lebih baik. Ini penting karena banyak proyek lingkungan, terutama yang terkait dengan reforestasi dan konservasi hutan, seringkali dianggap berisiko tinggi oleh investor konvensional karena ketidakpastian mengenai hasil finansialnya. Dengan dukungan dari green finance, risiko ini dapat diminimalkan, sehingga mendorong lebih banyak investasi dalam sektor-sektor yang mendukung tujuan FOLU Net Sink 2030.
Selain itu, green finance juga mendukung inovasi dan pengembangan teknologi baru yang diperlukan untuk mengelola hutan dan lahan secara berkelanjutan. Misalnya, dana dari green finance dapat digunakan untuk penelitian dan pengembangan teknologi pemantauan hutan berbasis satelit yang lebih canggih, yang memungkinkan pemantauan yang lebih akurat terhadap deforestasi dan degradasi lahan. Teknologi ini sangat penting untuk memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil dalam rangka mencapai target FOLU Net Sink 2030 berjalan efektif dan efisien.[8]
Secara keseluruhan, green finance tidak hanya menyediakan dana yang diperlukan untuk mencapai target-target iklim, tetapi juga menciptakan ekosistem keuangan yang mendukung transisi menuju pembangunan yang lebih berkelanjutan. Dalam konteks FOLU Net Sink 2030, green finance menjadi pilar utama yang mendukung berbagai inisiatif lingkungan yang diperlukan untuk mencapai emisi GRK nol bersih di Indonesia pada tahun 2030.
Tantangan Pendanaan dalam FOLU Net Sink 2030
Untuk mencapai target FOLU (Forestry and Other Land Use) Net Sink 2030, Indonesia membutuhkan pendanaan yang signifikan. Program ambisius ini bertujuan untuk menyeimbangkan emisi dan penyerapan karbon di sektor kehutanan dan penggunaan lahan sehingga Indonesia bisa menjadi “net sink” atau penyerap karbon bersih pada tahun 2030. Menurut estimasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), implementasi penuh dari FOLU Net Sink 2030 memerlukan dana sebesar sekitar USD 24,6 miliar atau setara dengan sekitar Rp 360 triliun hingga tahun 2030.[9] Anggaran ini mencakup berbagai kegiatan seperti reforestasi, rehabilitasi lahan terdegradasi, perlindungan kawasan hutan, serta pengembangan teknologi untuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
Pendanaan ini diperlukan untuk berbagai aktivitas penting seperti perlindungan hutan primer dan sekunder, pengurangan deforestasi, pengelolaan lahan gambut, serta upaya restorasi dan rehabilitasi lahan yang telah terdegradasi. Selain itu, dana juga dialokasikan untuk mendukung infrastruktur pengawasan dan penegakan hukum, yang merupakan bagian integral dari pengelolaan hutan yang efektif.
Diskusi Mengenai Sumber Pendanaan yang Potensial
Untuk memenuhi kebutuhan dana yang sangat besar ini, Indonesia harus mengandalkan berbagai sumber pendanaan. Sumber-sumber tersebut meliputi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), investasi dari sektor swasta, serta pendanaan dari lembaga non-pemerintah dan internasional.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
APBN dan APBD merupakan sumber utama pendanaan publik untuk program-program lingkungan, termasuk FOLU Net Sink 2030. Namun, alokasi anggaran dari APBN dan APBD sering kali terbatas karena prioritas pemerintah yang beragam dan kebutuhan untuk mendanai sektor-sektor lain seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Menurut laporan Kementerian Keuangan, total alokasi anggaran untuk sektor lingkungan dalam APBN 2023 hanya mencapai sekitar 0,9% dari total anggaran negara.[10] Ini menunjukkan bahwa meskipun ada komitmen untuk mendanai program FOLU, masih ada kesenjangan yang besar dalam hal pendanaan yang diperlukan.
Investasi dari Sektor Swasta
Partisipasi sektor swasta sangat penting dalam memenuhi kebutuhan pendanaan untuk FOLU Net Sink 2030. Salah satu cara utama untuk melibatkan sektor swasta adalah melalui penerbitan obligasi hijau (green bonds). Obligasi hijau dapat digunakan untuk mengumpulkan dana dari investor yang memiliki minat dalam proyek-proyek lingkungan yang berkelanjutan. Indonesia telah mulai mengeksplorasi penerbitan obligasi hijau sebagai bagian dari strategi pembiayaan iklimnya, dan ini terbukti menjadi alat yang efektif untuk menggalang dana. Misalnya, pada tahun 2018, Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang menerbitkan Green Sukuk, dengan total penggalangan dana mencapai USD 1,25 miliar .[11] Dana ini kemudian dialokasikan untuk proyek-proyek yang mendukung mitigasi perubahan iklim, termasuk inisiatif di sektor FOLU.
Selain obligasi hijau, kemitraan publik-swasta (Public-Private Partnerships, PPPs) juga dapat menjadi mekanisme penting untuk membiayai proyek-proyek besar dalam FOLU Net Sink 2030. Melalui PPPs, pemerintah dapat menarik investasi dari sektor swasta dengan menawarkan insentif seperti pengurangan pajak atau jaminan investasi. Ini dapat mengurangi beban anggaran negara dan mempercepat pelaksanaan program-program penting.
Sumber-Sumber Non-Pemerintah Lainnya
Selain APBN, APBD, dan investasi swasta, pendanaan untuk FOLU Net Sink 2030 juga dapat diperoleh dari sumber-sumber non-pemerintah lainnya, termasuk lembaga keuangan internasional, organisasi non-pemerintah (NGO), dan dana global yang didedikasikan untuk perubahan iklim, seperti Green Climate Fund (GCF) dan Global Environment Facility (GEF). Pendanaan dari lembaga-lembaga ini sering kali bersifat hibah atau pinjaman dengan bunga rendah, yang dapat digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi atau memerlukan jangka waktu yang lebih lama untuk menghasilkan manfaat ekonomi.
Lembaga-lembaga internasional seperti World Bank, Asian Development Bank (ADB), dan Climate Investment Funds (CIF) telah berperan aktif dalam mendanai proyek-proyek lingkungan di Indonesia, termasuk di sektor FOLU. Misalnya, World Bank telah menyediakan pembiayaan untuk program pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan, yang merupakan salah satu komponen penting dalam mencapai target FOLU Net Sink 2030.[12]
Pentingnya Green Finance dalam Mendukung FOLU Net Sink 2030
Green bonds adalah instrumen keuangan yang diterbitkan untuk mengumpulkan dana khusus untuk proyek-proyek yang berfokus pada lingkungan, seperti mitigasi perubahan iklim, konservasi sumber daya alam, dan pembangunan infrastruktur hijau. Dalam konteks Indonesia, green bonds menjadi salah satu alat penting untuk mendukung program FOLU (Forestry and Other Land Use) Net Sink 2030, yang bertujuan mencapai emisi GRK (Gas Rumah Kaca) nol bersih dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan pada tahun 2030.
Penerbitan green bonds memungkinkan pemerintah dan perusahaan untuk menarik investasi dari sektor swasta yang memiliki minat dalam mendanai proyek-proyek berkelanjutan. Dengan meningkatnya kesadaran global tentang pentingnya transisi ke ekonomi rendah karbon, green bonds telah menjadi instrumen populer di pasar modal global. Investor tertarik pada green bonds karena instrumen ini tidak hanya memberikan keuntungan finansial tetapi juga berkontribusi pada tujuan lingkungan dan sosial yang lebih luas.
Dalam skema pendanaan untuk FOLU Net Sink 2030, green bonds memainkan peran strategis. Mereka menyediakan sumber pendanaan yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan seperti reforestasi, rehabilitasi lahan terdegradasi, perlindungan hutan, dan pengembangan teknologi untuk pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Dengan mengarahkan investasi swasta ke proyek-proyek ini, green bonds membantu mempercepat pelaksanaan inisiatif lingkungan di sektor FOLU, yang pada gilirannya mendukung pencapaian target emisi nol bersih.
Contoh Keberhasilan Penerbitan Green Bonds di Indonesia dan Dampaknya pada Proyek-Proyek Lingkungan
Indonesia telah menjadi salah satu negara terdepan di Asia yang mengadopsi green bonds sebagai alat pembiayaan untuk proyek-proyek lingkungan. Salah satu contoh keberhasilan penerbitan green bonds di Indonesia adalah penerbitan Green Sukuk oleh pemerintah Indonesia. Pada tahun 2018, Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang menerbitkan Green Sukuk, yang mengumpulkan dana sebesar USD 1,25 miliar. Dana ini digunakan untuk mendanai berbagai proyek hijau yang mencakup energi terbarukan, efisiensi energi, pengelolaan sampah, dan, yang terpenting, kegiatan terkait FOLU seperti reforestasi dan rehabilitasi lahan.[13]
Green Sukuk Indonesia telah berdampak signifikan pada proyek-proyek lingkungan. Sebagai contoh, sebagian dari dana yang diperoleh melalui Green Sukuk telah dialokasikan untuk proyek restorasi lahan gambut, yang merupakan salah satu komponen utama dalam mencapai target FOLU Net Sink 2030. Restorasi lahan gambut penting karena lahan gambut yang terdegradasi adalah sumber utama emisi karbon. Melalui pembiayaan dari Green Sukuk, pemerintah Indonesia mampu memulai upaya restorasi pada skala yang lebih besar, mengurangi emisi karbon, dan meningkatkan kemampuan lahan gambut untuk menyerap karbon kembali.[14]
Selain itu, keberhasilan penerbitan Green Sukuk telah membuka jalan bagi lebih banyak perusahaan swasta di Indonesia untuk menerbitkan green bonds mereka sendiri. Ini menciptakan ekosistem investasi hijau yang lebih kuat, di mana semakin banyak modal swasta dialokasikan untuk proyek-proyek berkelanjutan, termasuk yang mendukung inisiatif FOLU Net Sink 2030. Sebagai contoh, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), sebuah perusahaan pembiayaan infrastruktur milik negara, juga telah menerbitkan green bonds untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur hijau yang mendukung tujuan iklim nasional.[15]
Secara keseluruhan, penerbitan green bonds di Indonesia telah menunjukkan bahwa sektor swasta dapat menjadi mitra penting dalam pendanaan inisiatif lingkungan besar seperti FOLU Net Sink 2030. Dengan mengarahkan investasi swasta ke proyek-proyek yang berkelanjutan, green bonds tidak hanya membantu memenuhi kebutuhan pendanaan yang besar tetapi juga memastikan bahwa inisiatif ini dapat berjalan secara berkelanjutan dalam jangka panjang.
Mekanisme Pembiayaan Berkelanjutan Lainnya
Untuk mendukung target ambisius FOLU (Forestry and Other Land Use) Net Sink 2030, selain green bonds, terdapat skema pembiayaan berkelanjutan lainnya yang juga sangat penting, seperti blended finance dan pendanaan berbasis hasil (results-based financing).
Blended Finance
Blended finance adalah skema pembiayaan yang menggabungkan dana publik dan swasta untuk mendanai proyek-proyek pembangunan berkelanjutan. Skema ini bertujuan untuk mengurangi risiko bagi investor swasta dengan menggunakan dana publik sebagai instrumen mitigasi risiko. Dengan cara ini, blended finance dapat menarik lebih banyak investasi swasta ke dalam proyek-proyek yang memiliki dampak sosial atau lingkungan yang tinggi tetapi dinilai berisiko secara komersial.[16]
Dalam konteks FOLU Net Sink 2030, blended finance dapat digunakan untuk mendanai proyek-proyek seperti reforestasi, konservasi hutan, dan pengelolaan lahan secara berkelanjutan. Skema ini memungkinkan proyek-proyek tersebut untuk mendapatkan pendanaan yang cukup, sementara pada saat yang sama memastikan bahwa dana publik digunakan secara efisien dengan memanfaatkan kontribusi dari sektor swasta.
Pendanaan Berbasis Hasil (Results-Based Financing)
Pendanaan berbasis hasil adalah mekanisme di mana pembayaran dilakukan setelah hasil tertentu telah dicapai. Mekanisme ini sangat efektif dalam mendorong pelaksanaan proyek yang efisien dan akuntabel, karena dana hanya akan dicairkan ketika target-target yang telah ditentukan sebelumnya tercapai. Dalam konteks FOLU Net Sink 2030, pendanaan berbasis hasil dapat diterapkan pada proyek-proyek seperti reforestasi atau pengurangan deforestasi, di mana pembayaran diberikan setelah area tertentu berhasil direstorasi atau setelah penurunan emisi karbon dapat diverifikasi.[17]
Pendanaan berbasis hasil juga dapat memotivasi para pelaku di lapangan untuk lebih fokus pada pencapaian target lingkungan yang konkret, karena pendanaan tergantung pada kinerja yang terukur. Ini menjadikan skema ini sebagai alat yang efektif untuk memastikan bahwa proyek-proyek lingkungan tidak hanya dilaksanakan, tetapi juga mencapai hasil yang diinginkan.
Studi Kasus Mengenai Penggunaan Blended Finance untuk Proyek Reforestasi dan Konservasi Hutan di Indonesia
Salah satu contoh penggunaan blended finance yang berhasil di Indonesia adalah proyek reforestasi dan konservasi hutan di Kalimantan yang dilaksanakan oleh Yayasan Kehati bekerja sama dengan beberapa mitra internasional. Proyek ini menggunakan skema blended finance yang menggabungkan dana dari pemerintah Indonesia, lembaga keuangan internasional, dan investasi dari sektor swasta.
Proyek yang disebut “Tropical Landscapes Finance Facility” (TLFF) ini bertujuan untuk merehabilitasi lahan terdegradasi dan mempromosikan konservasi hutan di Kalimantan. Melalui TLFF, proyek ini berhasil mengumpulkan sekitar USD 95 juta dari berbagai sumber, termasuk kontribusi signifikan dari sektor swasta. Dana ini digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan reforestasi di area yang luas, serta mempromosikan praktik pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Pendekatan blended finance dalam proyek ini berhasil mengurangi risiko bagi investor swasta melalui dukungan dari lembaga keuangan internasional, seperti United Nations Environment Programme (UNEP) dan BNP Paribas. Mereka memberikan jaminan dan fasilitasi teknis, yang membuat proyek ini menjadi lebih menarik bagi investor swasta. Selain itu, proyek ini juga menerapkan skema pendanaan berbasis hasil, di mana sebagian dana hanya dicairkan setelah target reforestasi dan konservasi tertentu tercapai.[18]
Proyek ini menjadi model yang menunjukkan bagaimana blended finance dan pendanaan berbasis hasil dapat digunakan secara efektif untuk mendukung inisiatif lingkungan yang besar seperti FOLU Net Sink 2030. Pengalaman dari proyek TLFF di Kalimantan menunjukkan bahwa kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga internasional melalui skema pembiayaan yang inovatif dapat menghasilkan dampak yang signifikan pada upaya konservasi dan reforestasi.
Peran Institusi Keuangan Internasional dalam Mendukung Program FOLU Net Sink 2030
World Bank telah menjadi mitra kunci bagi Indonesia dalam berbagai inisiatif lingkungan, termasuk program FOLU Net Sink 2030. World Bank mendukung Indonesia melalui pendanaan, peningkatan kapasitas, dan bantuan teknis. Salah satu contoh nyata adalah proyek Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) yang bertujuan untuk mendukung negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta memperkuat sistem pengelolaan hutan berkelanjutan. Proyek ini telah memberikan kontribusi signifikan dalam hal pendanaan dan transfer pengetahuan kepada pemerintah dan masyarakat lokal.[19]
Asian Development Bank (ADB) juga memainkan peran penting dalam mendukung program FOLU Net Sink 2030 melalui berbagai proyek lingkungan dan perubahan iklim. ADB telah memberikan dukungan melalui pembiayaan proyek-proyek yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, perlindungan keanekaragaman hayati, dan upaya mitigasi perubahan iklim. Misalnya, ADB telah mendanai proyek-proyek restorasi hutan dan rehabilitasi lahan yang rusak, yang secara langsung berkontribusi pada pengurangan emisi GRK dan peningkatan kapasitas penyerapan karbon di Indonesia.[20]
Global Environment Facility (GEF) adalah salah satu sumber pendanaan internasional terbesar untuk proyek-proyek lingkungan. GEF mendukung program FOLU Net Sink 2030 dengan memberikan hibah dan pembiayaan campuran untuk proyek-proyek yang berfokus pada konservasi hutan, pengurangan deforestasi, dan rehabilitasi lahan terdegradasi. GEF juga berperan dalam memperkuat kapasitas lokal melalui pelatihan dan pemberdayaan masyarakat setempat untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.[21]
Tantangan dalam Menarik Investasi dari Institusi Keuangan Internasional
Meskipun dukungan dari institusi keuangan internasional sangat penting, terdapat beberapa tantangan dalam menarik lebih banyak investasi untuk program FOLU Net Sink 2030. Salah satu tantangan utama adalah birokrasi dan regulasi yang kompleks di tingkat nasional dan daerah, yang sering kali memperlambat proses pencairan dana dan implementasi proyek. Selain itu, ada tantangan dalam memastikan bahwa investasi yang dilakukan benar-benar memberikan dampak yang diinginkan, terutama dalam konteks keterlibatan masyarakat lokal dan pengawasan proyek.[22]
Peluang dalam Menarik Investasi dari Institusi Keuangan Internasional
Di sisi lain, terdapat peluang besar dalam menarik lebih banyak investasi dari institusi keuangan internasional. Salah satunya adalah meningkatnya kesadaran global tentang pentingnya mitigasi perubahan iklim dan perlindungan keanekaragaman hayati, yang mendorong lembaga-lembaga ini untuk lebih aktif dalam mendukung program-program lingkungan di negara berkembang. Selain itu, Indonesia dapat memanfaatkan kemitraan dengan lembaga-lembaga internasional untuk memperkuat kapasitas nasional dalam pengelolaan lingkungan dan mempromosikan investasi hijau.[23]
Ironi Green Finance: Pendanaan dari Perusahaan Penghasil GRK
Green finance bertujuan mendukung inisiatif lingkungan dan mitigasi perubahan iklim melalui instrumen keuangan yang berfokus pada proyek-proyek berkelanjutan. Namun, terdapat ironi yang signifikan ketika pendanaan ini sebagian besar berasal dari perusahaan-perusahaan yang justru berkontribusi terhadap emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang tinggi, seperti perusahaan energi fosil, petrokimia, atau industri berat lainnya. Dilema ini menimbulkan pertanyaan etis yang kompleks: dapatkah perusahaan yang menjadi penyebab utama krisis iklim juga menjadi bagian dari solusi melalui pendanaan green finance?
Satu sisi dari dilema ini adalah bahwa perusahaan-perusahaan tersebut memiliki sumber daya finansial yang besar yang dapat digunakan untuk mendanai transisi ke ekonomi rendah karbon. Dengan berpartisipasi dalam skema green finance, mereka dapat membantu mendanai proyek-proyek yang memiliki dampak positif terhadap lingkungan, seperti reforestasi, pengembangan energi terbarukan, atau peningkatan efisiensi energi. Dari sudut pandang pragmatis, keterlibatan perusahaan ini dianggap penting untuk mencapai skala pendanaan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan iklim global.
Namun, di sisi lain, keterlibatan perusahaan-perusahaan penghasil GRK dalam green finance memunculkan dilema etika yang mendalam. Banyak yang berpendapat bahwa hal ini dapat dilihat sebagai bentuk “greenwashing,” di mana perusahaan-perusahaan tersebut mencoba memperbaiki citra mereka dengan terlibat dalam proyek hijau, sementara pada saat yang sama, aktivitas inti mereka tetap menjadi sumber utama emisi GRK. Ini menciptakan kontradiksi yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap inisiatif green finance itu sendiri, karena pendanaan dari sumber-sumber yang tidak konsisten dengan tujuan lingkungan dapat dianggap sebagai tindakan hipokrit.[24]
Contoh Kasus dan Analisis Dampaknya terhadap Persepsi Publik dan Efektivitas Program
Salah satu contoh yang paling mencolok dari dilema ini adalah penerbitan green bonds oleh perusahaan energi fosil besar, seperti TotalEnergies atau BP. Kedua perusahaan ini telah terlibat dalam penerbitan green bonds untuk mendanai proyek-proyek energi terbarukan. Di satu sisi, langkah ini tampak positif karena menunjukkan komitmen perusahaan untuk mendukung transisi energi. Namun, kritik muncul karena sebagian besar pendapatan mereka tetap berasal dari penjualan bahan bakar fosil, yang merupakan penyebab utama perubahan iklim.[25]
Dampak dari kasus-kasus seperti ini terhadap persepsi publik sangatlah signifikan. Sebagai contoh, ketika TotalEnergies mengumumkan penerbitan green bonds, reaksi publik dan media bervariasi, dengan sebagian melihatnya sebagai langkah maju, sementara yang lain mengkritik sebagai upaya greenwashing . Persepsi ini penting karena dapat mempengaruhi legitimasi dan keberlanjutan jangka panjang dari skema green finance itu sendiri. Jika publik melihat green finance sebagai alat yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar untuk membersihkan citra mereka tanpa perubahan substansial pada praktik bisnis mereka, maka kepercayaan terhadap inisiatif lingkungan global bisa menurun.
Selain itu, efektivitas program-program yang didanai oleh green finance juga dapat dipengaruhi oleh sumber pendanaannya. Studi menunjukkan bahwa proyek-proyek yang didanai oleh perusahaan-perusahaan dengan reputasi buruk terkait lingkungan seringkali menghadapi resistensi yang lebih besar dari komunitas lokal atau aktivis lingkungan.[26] Hal ini dapat menghambat implementasi program dan pada akhirnya mengurangi dampaknya terhadap mitigasi perubahan iklim.
Untuk mengatasi dilema ini, penting bagi inisiatif green finance untuk menetapkan kriteria yang ketat tentang siapa yang bisa menjadi sumber pendanaan, serta transparansi dalam bagaimana dana tersebut digunakan. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan memastikan bahwa perusahaan yang terlibat dalam green finance harus menunjukkan komitmen yang nyata terhadap transisi energi, misalnya dengan mengurangi secara signifikan ketergantungan mereka pada bahan bakar fosil dan meningkatkan investasi mereka dalam energi terbarukan.
Mekanisme Pengawasan dan Akuntabilitas dalam Green Finance
Green finance menjadi instrumen penting dalam upaya global untuk menghadapi perubahan iklim dan mencapai pembangunan berkelanjutan. Namun, untuk memastikan bahwa dana yang terkumpul melalui berbagai mekanisme green finance, seperti green bonds dan blended finance, benar-benar digunakan untuk tujuan yang diinginkan, diperlukan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang kuat. Tanpa pengawasan yang ketat, terdapat risiko bahwa dana tersebut mungkin disalahgunakan atau tidak dialokasikan secara efektif, yang dapat merusak tujuan lingkungan dan sosial yang ingin dicapai.
Mekanisme pengawasan dan akuntabilitas sangat penting dalam memberikan transparansi kepada investor, pemerintah, dan masyarakat umum mengenai bagaimana dana green finance digunakan. Mekanisme ini juga berfungsi sebagai alat untuk memantau kemajuan proyek, memastikan bahwa dana digunakan sesuai dengan rencana yang telah disepakati, dan mengidentifikasi serta mengatasi potensi penyimpangan atau kesalahan. Tanpa pengawasan yang memadai, proyek yang didanai oleh green finance dapat kehilangan kredibilitas dan dukungan publik, yang pada akhirnya dapat merugikan seluruh gerakan keuangan berkelanjutan.
Pengawasan juga berperan dalam memastikan bahwa dana green finance tidak hanya digunakan untuk mencapai tujuan finansial, tetapi juga tujuan lingkungan yang lebih luas, seperti pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), pelestarian keanekaragaman hayati, dan perlindungan sumber daya alam. Akuntabilitas dalam hal ini mencakup tanggung jawab untuk melaporkan hasil dari proyek-proyek yang didanai, baik dari sisi lingkungan maupun sosial, dan memastikan bahwa proyek tersebut benar-benar berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan.
Contoh Inisiatif Pengawasan yang Berhasil di Sektor Lingkungan
Salah satu contoh inisiatif pengawasan yang berhasil dalam sektor lingkungan adalah “Forest Stewardship Council” (FSC), yang merupakan sistem sertifikasi global untuk pengelolaan hutan berkelanjutan. FSC menyediakan mekanisme pengawasan yang ketat terhadap praktek pengelolaan hutan oleh perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam industri kehutanan. Melalui audit independen, FSC memastikan bahwa hutan dikelola sesuai dengan standar lingkungan yang tinggi, termasuk perlindungan terhadap ekosistem yang rentan, penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, dan pemanfaatan sumber daya hutan yang berkelanjutan.[27]
Selain itu, dalam konteks green finance, “Climate Bonds Initiative” (CBI) adalah contoh lain dari inisiatif pengawasan yang berhasil. CBI adalah organisasi nirlaba yang bekerja untuk memobilisasi pasar obligasi global untuk solusi perubahan iklim. Melalui proses sertifikasi dan pengawasan, CBI memastikan bahwa obligasi hijau yang diterbitkan oleh berbagai entitas benar-benar digunakan untuk proyek-proyek yang berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim, seperti energi terbarukan, transportasi berkelanjutan, dan pengelolaan air. Sertifikasi dari CBI memberikan kepercayaan kepada investor bahwa dana mereka digunakan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan tujuan lingkungan yang telah ditetapkan.[28]
Selain kedua inisiatif di atas, praktek “Environmental, Social, and Governance” (ESG) reporting juga telah menjadi alat pengawasan dan akuntabilitas yang penting dalam sektor keuangan berkelanjutan. ESG reporting memungkinkan perusahaan dan organisasi untuk melaporkan kinerja mereka dalam tiga bidang utama: lingkungan, sosial, dan tata kelola. Laporan ini memberikan transparansi tentang bagaimana perusahaan menangani isu-isu lingkungan, seperti pengurangan emisi GRK, serta bagaimana mereka mematuhi standar etika dan sosial dalam operasi bisnis mereka. Contohnya, laporan ESG dari perusahaan energi seperti Ørsted, yang beralih dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan, memberikan gambaran yang jelas tentang komitmen perusahaan terhadap lingkungan dan tanggung jawab sosial.[29]
Mekanisme pengawasan dan akuntabilitas seperti ini tidak hanya membantu dalam memastikan bahwa dana green finance digunakan secara tepat, tetapi juga memperkuat integritas dan kredibilitas dari inisiatif keuangan berkelanjutan. Dengan pengawasan yang tepat, green finance dapat terus berkembang sebagai alat yang efektif untuk mencapai tujuan lingkungan global dan membangun masa depan yang berkelanjutan.
Rekomendasi Kebijakan untuk Memperkuat Green Finance dalam Mendukung FOLU Net Sink 2030
Untuk mencapai target FOLU (Forestry and Other Land Use) Net Sink 2030, diperlukan kebijakan yang mendukung penguatan green finance. Sebagai salah satu instrumen utama dalam menggalang dana bagi proyek-proyek berkelanjutan, green finance membutuhkan kerangka kebijakan yang kokoh dan terintegrasi. Berikut adalah beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat memperkuat peran green finance dalam mendukung FOLU Net Sink 2030:
a. Peningkatan Insentif Pajak untuk Investasi Hijau
Pemerintah dapat memperkuat green finance dengan memberikan insentif pajak kepada investor yang mendukung proyek-proyek lingkungan. Ini bisa mencakup pengurangan pajak bagi perusahaan yang menerbitkan green bonds atau yang menginvestasikan sebagian besar modalnya dalam proyek-proyek reforestasi, konservasi hutan, dan pengelolaan lahan berkelanjutan. Insentif pajak ini akan mendorong lebih banyak investasi dari sektor swasta, sehingga mempercepat pencapaian target FOLU Net Sink 2030.
b. Pengembangan Pasar Obligasi Hijau yang Lebih Terstruktur
Pengembangan pasar obligasi hijau yang lebih terstruktur sangat penting untuk meningkatkan likuiditas dan aksesibilitas green finance. Pemerintah dapat bekerja sama dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menciptakan regulasi yang jelas dan ramah pasar bagi penerbitan green bonds. Selain itu, perlu juga dikembangkan mekanisme sertifikasi yang kredibel dan transparan, seperti yang dilakukan oleh Climate Bonds Initiative (CBI), untuk memastikan bahwa dana yang terkumpul melalui obligasi hijau benar-benar digunakan untuk proyek-proyek yang berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim.[30]
c. Penyusunan Standar Nasional untuk Proyek Berkelanjutan
Standar nasional yang jelas dan konsisten untuk proyek berkelanjutan dapat membantu menarik lebih banyak investasi. Standar ini harus mencakup kriteria-kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang harus dipenuhi oleh proyek-proyek yang ingin mengakses dana green finance. Dengan adanya standar yang jelas, investor akan lebih yakin bahwa dana mereka digunakan dengan cara yang bertanggung jawab dan efektif dalam mencapai tujuan lingkungan. Ini juga akan meminimalisir risiko greenwashing, di mana proyek atau perusahaan mengklaim lebih banyak manfaat lingkungan dari yang sebenarnya terjadi.
d. Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas
Pemerintah harus memperkuat mekanisme transparansi dan akuntabilitas dalam seluruh rantai green finance. Ini mencakup pelaporan yang lebih terperinci dan real-time mengenai penggunaan dana, kemajuan proyek, dan dampak lingkungan yang dihasilkan. Penerapan teknologi digital, seperti blockchain, dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan transparansi dan mencegah penyelewengan dana. Dengan transparansi yang lebih baik, kepercayaan investor dan publik terhadap green finance akan meningkat, yang pada akhirnya akan mendukung keberhasilan FOLU Net Sink 2030.[31]
Pentingnya Kolaborasi antara Pemerintah, Sektor Swasta, dan Masyarakat Internasional
Kesuksesan FOLU Net Sink 2030 tidak hanya bergantung pada kebijakan nasional, tetapi juga pada kolaborasi yang erat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat internasional. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk memperkuat kolaborasi ini:
a. Kemitraan Publik-Swasta (Public-Private Partnerships)
Pemerintah perlu mengembangkan kemitraan yang lebih erat dengan sektor swasta melalui inisiatif seperti Public-Private Partnerships (PPP). Dalam konteks FOLU Net Sink 2030, PPP dapat membantu dalam penyediaan modal yang diperlukan untuk proyek-proyek besar, seperti restorasi lahan dan konservasi hutan. Sektor swasta, dengan keahlian dan sumber daya yang dimilikinya, dapat berperan penting dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas proyek-proyek ini.[32]
b. Dukungan dari Lembaga Keuangan Internasional
Kolaborasi dengan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), dan Global Environment Facility (GEF) sangat penting dalam memperluas cakupan green finance. Lembaga-lembaga ini dapat menyediakan dukungan teknis, pendanaan, serta fasilitas pembiayaan berbasis hasil yang dirancang untuk mencapai target lingkungan secara global. Dukungan dari lembaga keuangan internasional juga akan membantu Indonesia dalam menarik lebih banyak investasi asing yang diperlukan untuk mencapai target FOLU Net Sink 2030.[33]
c. Partisipasi Aktif dalam Forum Internasional
Indonesia harus terus berpartisipasi aktif dalam forum-forum internasional yang membahas pembiayaan iklim dan pembangunan berkelanjutan. Melalui partisipasi ini, Indonesia dapat berbagi pengalaman, mendapatkan akses ke sumber daya internasional, serta membangun jaringan global yang dapat memperkuat implementasi FOLU Net Sink 2030. Selain itu, partisipasi ini juga akan memungkinkan Indonesia untuk mengadvokasi kebijakan global yang lebih mendukung pengembangan green finance di negara-negara berkembang .
Dengan rekomendasi kebijakan ini, diharapkan green finance dapat semakin berperan penting dalam mendukung tercapainya FOLU Net Sink 2030, serta mempercepat transisi Indonesia menuju ekonomi rendah karbon yang berkelanjutan.
Penegasan Kembali Pentingnya Green Finance sebagai Instrumen Kunci dalam Mencapai Target FOLU Net Sink 2030
Dalam upaya mencapai target FOLU (Forestry and Other Land Use) Net Sink 2030, green finance telah terbukti menjadi instrumen kunci yang tidak hanya mendukung penggalangan dana, tetapi juga mengarahkan investasi ke proyek-proyek yang berkontribusi terhadap mitigasi perubahan iklim. Dengan beragam mekanisme seperti green bonds, blended finance, dan pembiayaan berbasis hasil, green finance menyediakan solusi finansial yang inovatif dan berkelanjutan untuk mendukung kegiatan restorasi hutan, konservasi lahan, dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.[34]
Pentingnya green finance tidak hanya terletak pada kapasitasnya untuk menarik modal dari berbagai sumber, termasuk sektor swasta dan lembaga internasional, tetapi juga pada perannya dalam mendorong transparansi, akuntabilitas, dan komitmen terhadap tujuan lingkungan yang lebih luas. Dengan mekanisme pengawasan yang tepat, dana green finance dapat dipastikan digunakan secara efisien dan tepat sasaran, sehingga menghasilkan dampak yang signifikan dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan meningkatkan kesehatan ekosistem.
Keberhasilan FOLU Net Sink 2030 sangat bergantung pada bagaimana green finance dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu, diperlukan komitmen yang kuat dari semua pemangku kepentingan—pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat internasional—untuk terus mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan yang mendukung penguatan green finance.[35]
Harapan dan Prospek ke Depan untuk Implementasi Program Ini di Indonesia
Melihat peran sentral yang dimainkan oleh green finance dalam pencapaian target FOLU Net Sink 2030, harapan ke depan adalah agar Indonesia dapat terus memperkuat ekosistem keuangan berkelanjutan. Ini mencakup upaya peningkatan kesadaran dan kapasitas di antara para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, perusahaan, dan masyarakat sipil, tentang pentingnya green finance dan peluang yang ditawarkannya.
Prospek ke depan untuk implementasi FOLU Net Sink 2030 di Indonesia sangatlah menjanjikan, mengingat dukungan yang semakin kuat dari berbagai pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional. Dengan kolaborasi yang semakin erat antara sektor publik dan swasta, serta dengan bantuan teknis dan finansial dari lembaga internasional, Indonesia memiliki peluang besar untuk tidak hanya mencapai target FOLU Net Sink 2030, tetapi juga menjadi pemimpin global dalam keuangan hijau dan pembangunan berkelanjutan.[36]
Namun, tantangan yang ada tetap perlu diperhatikan, terutama dalam hal memastikan keterlibatan yang inklusif dari semua pihak yang berkepentingan dan mengatasi hambatan-hambatan teknis maupun finansial yang masih ada. Ke depan, diharapkan bahwa Indonesia dapat mengembangkan kebijakan yang lebih komprehensif dan integratif, yang mampu mengakomodasi berbagai dinamika dan kebutuhan yang muncul di lapangan.
Dengan komitmen yang berkelanjutan, green finance akan terus menjadi tulang punggung dalam upaya Indonesia untuk mencapai tujuan iklimnya, sekaligus membangun ekonomi yang lebih hijau dan berketahanan. FOLU Net Sink 2030 bukan hanya target nasional, tetapi juga bagian dari kontribusi Indonesia terhadap upaya global dalam menanggulangi perubahan iklim dan melestarikan planet ini untuk generasi mendatang.***MG
Daftar Pustaka
- Asian Development Bank (ADB). (2021). Green Bonds in Southeast Asia: An Emerging Investment Class. Manila: ADB.
- Asian Development Bank. (2020). Indonesia Country Partnership Strategy 2020-2024. Manila: ADB.
- Asian Development Bank. (2021). ADB Annual Report 2021: Responding to the Climate Crisis. Manila: ADB.
- Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2023). Strategi Pengembangan Sektor FOLU dalam Rangka Pencapaian Net Sink 2030. Jakarta: Bappenas.
- Badan Restorasi Gambut. (2019). Laporan Tahunan Restorasi Lahan Gambut 2019. Jakarta: Badan Restorasi Gambut.
- Climate Bonds Initiative. (2021). Climate Bonds Standard and Certification Scheme. London: CBI..
- Climate Policy Initiative. (2022). Landscape of Green Finance in Indonesia. Jakarta: CPI.
- Forest Stewardship Council. (2020). FSC Principles and Criteria for Forest Stewardship. Bonn: FSC.
- Friends of the Earth. (2021). Greenwashing Exposed: The Role of Fossil Fuel Companies in Green Finance. London: Friends of the Earth.
- Global Environment Facility. (2019). GEF Annual Report 2019: Investing in the Planet. Washington, DC: GEF.
- Global Environment Facility. (2021). Indonesia and the GEF: A Strong Partnership for Environmental Sustainability. Washington, DC: GEF.
- Global Witness. (2020). Green Bonds and the Challenge of Greenwashing in the Fossil Fuel Industry. Brussels: Global Witness.
- International Finance Corporation (IFC). (2021). Green Finance: A Bottom-up Approach to Sustainable Development. Washington, DC: IFC.
- Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2018). Laporan Green Sukuk: Mewujudkan Pembiayaan Berkelanjutan untuk Masa Depan. Jakarta: Kementerian Keuangan.
- Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). Laporan Keuangan Negara 2023. Jakarta: Kementerian Keuangan.
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Rencana Operasional FOLU Net Sink 2030. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
- Mulyani, R., & Setiawan, A. (2022). Tantangan Implementasi Program FOLU Net Sink 2030 di Indonesia. Jakarta: Penerbit Hutan Lestari.
- OECD. (2020). Blended Finance in the Least Developed Countries. Paris: OECD Publishing.
- OECD. (2020). ESG Standards and Reporting: Key Challenges and Opportunities. Paris: OECD Publishing.
- OECD. (2021). Green Finance and Investment: Mobilising Bond Markets for a Low-Carbon Transition. Paris: OECD Publishing.
- Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2018). Panduan Penerbitan Green Bonds di Indonesia. Jakarta: OJK.
- Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2019). Laporan Tahunan Pasar Modal 2019. Jakarta: OJK.
- Oxford Institute for Energy Studies. (2022). The Paradox of Green Bonds in Fossil Fuel Companies. Oxford: OIES.
- PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). (2020). Laporan Keberlanjutan Green Bonds. Jakarta: PT SMI.
- Rahmawati, D., & Surya, M. (2023). Peluang dan Tantangan Investasi Hijau di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Alam Raya.
- Tropical Landscapes Finance Facility (TLFF). (2021). Annual Report 2021. Jakarta: TLFF.
- UNEP. (2021). Financial Innovation for Sustainable Development. Nairobi: UNEP.
- UNEP. (2021). Financing Nature: Closing the Global Biodiversity Financing Gap. Nairobi: UNEP.
- UNEP. (2021). Public-Private Partnerships for Sustainable Development: Best Practices and Recommendations. Nairobi: UNEP.
- United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). (2022). Indonesia’s Updated Nationally Determined Contribution (NDC). Bonn: UNFCCC.
- World Bank. (2018). Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) Annual Report 2018. Washington, DC: World Bank Group. [Diakses dari: https://www.worldbank.org/en/topic/forests/brief/fcpf].
- World Bank. (2020). Indonesia: Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Washington, DC: World Bank Group.
- World Bank. (2021). Green Bonds: A Framework for Sustainable Investment. Washington, DC: World Bank.
- World Bank. (2022). Indonesia Climate Change Development Policy Financing. Washington, DC: World Bank.
- World Bank. (2022). Indonesia Sustainable Landscapes Management Program. Washington, DC: World Bank.
- World Bank. (2022). Mobilizing Climate Finance for Developing Countries. Washington, DC: World Bank.
- Ørsted. (2022). Sustainability Report 2022. Copenhagen: Ørsted.
Catatan kaki:
[1] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Rencana Operasional FOLU Net Sink 2030. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
[2] United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). (2022). Indonesia’s Updated Nationally Determined Contribution (NDC). Bonn: UNFCCC.
[3] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2023). Strategi Pengembangan Sektor FOLU dalam Rangka Pencapaian Net Sink 2030. Jakarta: Bappenas.
[4] International Finance Corporation (IFC). (2021). Green Finance: A Bottom-up Approach to Sustainable Development. Washington, DC: IFC.
[5] World Bank. (2021). Green Bonds: A Framework for Sustainable Investment. Washington, DC: World Bank.
[6] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Rencana Operasional FOLU Net Sink 2030. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
[7] Asian Development Bank (ADB). (2021). Green Bonds in Southeast Asia: An Emerging Investment Class. Manila: ADB.
[8] Climate Policy Initiative. (2022). Landscape of Green Finance in Indonesia. Jakarta: CPI.
[9]Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Rencana Operasional FOLU Net Sink 2030. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, hlm. 15.
[10] Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). Laporan Keuangan Negara 2023. Jakarta: Kementerian Keuangan, hlm. 78.
[11] Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2019). Laporan Tahunan Pasar Modal 2019. Jakarta: OJK, hlm. 46.
[12] World Bank. (2022). Indonesia Sustainable Landscapes Management Program. Washington, DC: World Bank, hlm. 34.
[13] Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2018). Laporan Green Sukuk: Mewujudkan Pembiayaan Berkelanjutan untuk Masa Depan. Jakarta: Kementerian Keuangan, hlm. 7.
[14] Badan Restorasi Gambut. (2019). Laporan Tahunan Restorasi Lahan Gambut 2019. Jakarta: Badan Restorasi Gambut, hlm. 22.
[15] PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). (2020). Laporan Keberlanjutan Green Bonds. Jakarta: PT SMI, hlm. 18.
[16] OECD. (2020). Blended Finance in the Least Developed Countries. Paris: OECD Publishing, hlm. 14.
[17] Tropical Landscapes Finance Facility (TLFF). (2021). Annual Report 2021. Jakarta: TLFF, hlm. 27.
[18] UNEP. (2021). Financial Innovation for Sustainable Development. Nairobi: UNEP, hlm. 32.
[19] World Bank, Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) Annual Report 2018, (Washington, DC: World Bank Group, 2018), 12.
[20] World Bank, Indonesia: Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+), (Washington, DC: World Bank Group, 2020), 25.
[21]Global Environment Facility, GEF Annual Report 2019: Investing in the Planet, (Washington, DC: GEF, 2019), 19.
[22] R. Mulyani & A. Setiawan, Tantangan Implementasi Program FOLU Net Sink 2030 di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Hutan Lestari, 2022), 14
[23] D. Rahmawati & M. Surya, Peluang dan Tantangan Investasi Hijau di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Alam Raya, 2023), 67.
[24] Friends of the Earth. (2021). Greenwashing Exposed: The Role of Fossil Fuel Companies in Green Finance. London: Friends of the Earth, hlm. 10.
[25] Oxford Institute for Energy Studies. (2022). The Paradox of Green Bonds in Fossil Fuel Companies. Oxford: OIES, hlm. 5.
[26] Global Witness. (2020). Green Bonds and the Challenge of Greenwashing in the Fossil Fuel Industry. Brussels: Global Witness, hlm. 14.
[27] Forest Stewardship Council. (2020). FSC Principles and Criteria for Forest Stewardship. Bonn: FSC, hlm. 15.
[28] Climate Bonds Initiative. (2021). Climate Bonds Standard and Certification Scheme. London: CBI, hlm. 8.
[29] Ørsted. (2022). Sustainability Report 2022. Copenhagen: Ørsted, hlm. 22.
[30] Climate Bonds Initiative. (2021). Climate Bonds Standard and Certification Scheme. London: CBI, hlm. 12.
[31]OECD. (2020). ESG Standards and Reporting: Key Challenges and Opportunities. Paris: OECD Publishing, hlm. 18
[32] UNEP. (2021). Public-Private Partnerships for Sustainable Development: Best Practices and Recommendations. Nairobi: UNEP, hlm. 24.
[33] World Bank. (2022). Mobilizing Climate Finance for Developing Countries. Washington, DC: World Bank, hlm. 30.
[34] UNEP. (2021). Financing Nature: Closing the Global Biodiversity Financing Gap. Nairobi: UNEP, hlm. 45.
[35] World Bank. (2022). Indonesia Climate Change Development Policy Financing. Washington, DC: World Bank, hlm. 28
[36] OECD. (2021). Green Finance and Investment: Mobilising Bond Markets for a Low-Carbon Transition. Paris: OECD Publishing, hlm. 33