Kompas.com – 11/07/2024, 22:11 WIB

Ruby Rachmadina, Irfan Maullana

Tim Redaksi

BOGOR, KOMPAS.com – Ketua Visi Nusantara Maju Yusfitriadi menegaskan pentingnya pemahaman terhadap konsep “Green Democratic” atau Demokrasi Hijau bagi para kandidat calon kepala daerah yang akan berlaga dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024.

Hal itu diungkapkan Yusfitriadi dalam diskusi pubik “Mendorong Green Democratic dalam Pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 untuk Mendukung Terwujudnya Ekonomi Hijau di Indonesia” di Sekretariat Indonesia Working Group on Forest Finance (IWGFF) Jalan Sempur Kaler, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Kamis (11/7/2024).

Menurut Yusfitriadi dalam perhelatan politik lima tahunan ini, masyarakat seharusnya tidak hanya berpikir siapa yang menang dan kalah, tapi harus berpikir bagaimana korelasi para kandidat dalam berproses dalam kontestasi pemilu, dan bagaimana sikapnya sehabis terpilih.

“Faktor apa yang membuat menang harus diperhatikan, apakah karena money politic, pendanaan dari pengusaha yang bisa merusak lingkungan dan lainnya. Di Indonesia heboh di prosesnya, ketika sudah jadi biasa saja,” ujar Yusfitriadi kepada Kompas.com.

Ia menjelaskan, istilah demokrasi hijau bukanlah hal yang baru. Dalam kata lain, artinya adalah demokrasi yang dibangun tanpa merugikan siapa pun dan tidak merusak apapun.

Demokrasi dibangun dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan di antaranya keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan.

“Ini merupakan cara bagaimana kita menuju membangun Indonesia dengan ekonomi hijau, tidak merugikan siapa pun. Pertama yang dalam konteks formal prosedural, demokrasi hijau belum menjadi spirit bersama terutama bagi aktor-aktor Pilkada,” ucap dia.

Untuk hal itu Yusfitriadi mencontohkan, dalam perjalanan menuju kontestasi politik, acap kali para kandidat bakal calon kepala daerah tidak mengindahkan aturan yang diatur terkait pemasangan alat peraga kampanye (APK).

Bahkan, pada kenyataannya dampak kemunculan APK dinilai kerap merusak lingkungan dan terkesan ‘nyampah’.

“Di mana-mana spanduk banner baliho berserakan amat sangat merugikan masyarakat. Itu kontek definitif yang merugikan, di tempat-tempat yang dilarang malah dipasang dan apabila jatuh ke jalan tidak ada yang bertanggung jawab, merugikan pejalan kaki dan penggunaan jalan,” papar Yusfitriadi.

“Kemudian apabila ada pendanaan atau dari donor pengusaha, secara tidak langsung kalau jadi terpilih akan bisa merusak lingkungan,” imbuhnya.

Selain itu, ia juga menyinggung soal peran dan kebijakan para kepala daerah yang terkesan labil dalam penegakan aturan dalam mendorong terwujudnya “Green Democratic”.

“Contohnya Tugu Kujang (Kota Bogor), dahulu tidak boleh ada bangunan lebih tinggi dari Tugu Kujang. Tetapi tinggal diubah Perda-nya, sekarang bisa dilihat baik bangunan-bangunan sekitar Tugu Kujang banyak yang lebih tinggi,” ungkapnya.

“Maka kontrak Green Democratic ini baik, ketika kepala daerah terpilih jangan sampai ikut merusak lingkungan, dengan cara-cara memanfaatkan kekuasaannya dengan memberikan peluang bagi pengusaha perusak lingkungan,” ungkap Yusfitriadi.

Sementata itu, Kordinator Komunitas Pemilu Bersih, Jeirry Sumampow menyinggung soal pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang tergolong tidak menerapkan Green Democratic.

Sumber: kompas.com