Kata Pengantar
Sebagai salah satu negara yang masih memiliki hutan yang luas di dunia, Indonesia masih menjadikan produk hutan sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Hingga saat ini produk hutan yang menjadi kontributor utama pendapatan adalah kayu serta produk turunannya.
Hasil hutan berupa kayu masih merupakan komoditas andalan sector kehutanan mengingat masih tetap memberikan sumbangan terhadap produk domestik regioal bruto (PDRB) khususnya untuk peningkatan pendapatan asli daerah. Peranan hasil hutan kayu selama ini dianggap masih sangat penting (primer) pada pengusahaan sektor kehutanan, tetapi tetap masih dirasakan adanya kelemahan dari berbagai kebijakan yang menyangkut tataniaga maupun pengelolaan sumberdayanya.
Sebagai sebuah industri tentunya membutuhkan dukungan dan kerjasama dengan lembaga keuangan perbankan dan atau non perbankan baik untuk memperoleh pinjaman yang sesuai dengan kebutuhan investasi maupun tempat menyimpan pendapatan hasil hutan.
Dalam memainkan perannya sebagai pendukung dana dan menjadi tempat yang mudah untuk bertransaksi dibandingkan lembaga keuangan lainnya, bank sering tak sadar telah ikut memperlancar operasi-operasi penebangan dan pembukaan kawasan hutan oleh debiturnya yang beberapa di antaranya dilakukan secara illegal. PPATK beberapa kali mengkonfirmasi bahwa bank memfasilitasi transaksi keuangan tak lazim (unusual transaction) yang ditemuinya diantaranya terkait langsung dengan usaha kehutanan.
Korupsi dan Pencuian Uang di sektor kehutanan telah terbukti terjadi seiring terjadinya tindak pidana di bidang kehutanan (forest crime) seperti illegal logging, pencurian dan perdagangan tumbuhan dan satwa yang dilindungi, dan penguasaan kawasan hutan secara illegal yang telah merugikan negara ratusan trilyun rupiah.
Dengan masuknya bidang/sektor kehutanan dalam UU No. 8 tahun 2010 tentang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Anti Pencucian di Indonesia sebagai salah satu kejahatan asal (predicate of crimes) maka, perbankan dan lembaga keuangan yang menjadi salah satu pilar dalam penerapan Regime Anti Pencucian Uang dapat menerapkan Sistem Pengenalan Nasabah (Know Your Customer / KYC) untuk mengenal lebih dalam usaha-usaha di sektor kehutanan serta dapat mengenal nasabah beresiko tinggi karena posisi politis dan keterkaitan dengan kelembagaan publik (politically exposed persons) sektor kehutanan.
Program SIAP II melihat bahwa salah satu hal penting dalam mendukung upaya penerapatan sistem KCY Perbankan dan prinsip mengenal nasabah beresiko tinggi di sektor kehutanan, sektor perbankan dan masyarakat umum masih membutuhkan referensi dan sumber informasi yang lengkap dalam bentuk panduan singkat. Setelah melalui proses kajian literatur yang dilakukan oleh tim ahli serta serangkaian diskusi terbatas dengan para pihak terkait dibidang perbankan dan rezim anti pencucian uang, akhirnya buku panduan ini selesai disusun.
Panduan ini difokuskan pada bagaimana lembaga keuangan dan atau perbankan dapat mengenal dengan baik usaha-usaha di sektor sumberdaya alam lebih khusus di sektor kehutanan. Panduan ini diharapkan dapat menjadi Better Management Practices dan Pedoman bagi kalangan perbankan dan atau lembaga keuangan dalam menilai profil nasabahnya di sektor kehutanan serta mengenal lebih jauh tentang usaha-usaha di sektor kehutanan yang diduga terlibat dalam praktif-praktik illegal (illegal business/forest crimes) yang dapat merugikan bisnis perbankan.
Insisasi penyusunan panduan ini digagas oleh Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF) di tahun 2005-2006 untuk menyambut diberalakukannnya Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia yang didalamnya memasukan sektor kehutanan sebagai salah satu kejahatan asal (predicate of crimes). Selain menyambut rezim anti pencucian uang, buku panduan ini juga ingin merespon lahirnya Peraturan Bank Indonesia (PBI) 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang mencantumkan perlunya perhatian mengenai upaya-upaya pelestarian lingkungan yang dilakukan oleh calon debitur pada pasal 11 ayat (e). Walaupun kemudian PBI ini kemudian direvisi tiga kali, namun Pasal 11 ini tidak mengalami perubahan.
Publikasi ini dihasilkan melalui diskusi cukup intensif di IWGFF yang melibatkan anggota IWGFF dan para kontributornya yaitu Panca Pramudaya selaku Penulis Utama, Willem Pattinasarany (Kordinator IWGFF), Bambang Setiono (CIFOR), David Brown (MFP-DFID), Aziz Khan (NRM), Bob Purba (FWI), Rizki R Sigit (Telapak), Arbi Valentinus (Telapak), Anwar Purwoto (WWF Indonesia), dan Bintang Simangunsong & Togu Manurung (IPB).
Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada Sdr Panca Pramudya sebagai penulis utama dan para kontributor dalam penyusunan buku panduan ini. Kami sampaikan juga terima kasih kepada para pejabat PPATK yang turut memberikan masukan bagi penyusunan buku pedoman ini, dan Kepala PPATK yang bersedia memberikan pidato pembukaan dalam acara launching buku ini.
Kepada USAID kantor Program Indonesia, Pimpinan WWF Indonesia, Kordinator dan anggota IWGFF, serta kawan-kawan di tim SIAP II yang telah mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya selama proses revisi dan penerbitan buku panduan ini.
Kami menyadari bahwa buku modul ini masih jauh dari sempurna, ada kekurangannya baik dari sudut substansi maupun penulisan. Kritik, masukan dan saran dari pembaca tentunya sangat kami harapkan sebagai bahan penyempurnaan.
Semoga dengan hadirnya buku panduan ini diharapkan dapat mendukung upaya-upaya pengelolaan hutan secara lestari dan bertanggung jawab, mendukung upaya penegakan hukum kejahatan kehutanan di Indonesia, dan turut membantu menciptakan interaksi yang sehat antara industri perbankan dan usaha-usaha di sektor kehutanan.
Jakarta, Desember 2013
Fathi Hanif, S.H.M.H.
Chief of Party SIAP II
Untuk mendapatkan Buku, silahkan Hubungi Kami