Jumat, 26 Desember 2008 pukul 07:41:00
JAKARTA — Jaringan Anti-Illegal Logging, Pencucian Uang, dan Korupsi menilai, dihentikannya kasus-kasus pembalakan liar (illegal logging) di Riau akibat penyidik terlalu berpedoman pada Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Padahal, UU Kehutanan dinilai sangat sulit dalam hal pembuktian di persidangan. ”Kami selalu mendorong penyidik menggunakan UU Antikorupsi atau UU Pencucian Uang agar berkas perkara tidak bolak-balik antara polisi dan kejaksaan,” kata Koordinator Indonesia Working Group of Forest Finance, Willem Pattinasarany, yang dihubungi Republika, semalam (25/12).
Menurut Willem, tidak kunjungnya kejaksaan menyatakan lengkapnya (P21) berkas penyidikan kasus pembalakan di Riau karena jaksa belum yakin dengan kuatnya bukti atau saksi yang telah dimiliki penyidik. Dalam Pasal 50 UU Kehutanan, kata Willem, disebutkan bahwa pelaku pembalakan liar adalah yang mengangkut, menguasai, dan membawa kayu log secara ilegal. Jika penyidik tidak memiliki alat bukti yang kuat, kata Willem, sulit membuktikan ketiga unsur tersebut, kecuali pelaku tertangkap basah.
Sejak dulu, lanjut Willem, Jaringan Anti-Illegal Logging selalu menyarankan agar penyidik menggunakan UU Antikorupsi atau UU Pencucian Uang dalam menjerat tersangka pembalakan liar. Tujuannya, agar aparat hukum bisa menjerat pelaku lapangan dan pemodal (cukong) pembalakan liar tidak hanya dengan UU Kehutanan. “Sudah saatnya aparat hukum menggunakan multidisiplin hukum,” tambah Willem.
Berbicara terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Febridiansyah, menyatakan, banyaknya cukong yang bebas di pengadilan karena lemahnya UU Kehutanan. Semangat pasal-pasal yang ada dalam UU Kehutanan, kata Febri, adalah melindungi hasil hutan, bukan menjaga kelestarian hutan. UU Kehutanan, dalam banyak hal, mengategorikan pembalakan liar sebagai pelanggaran administratif.
Jika penyidik jeli, lanjut Febri, dalam Pasal 63 KUHP dijelaskan bahwa suatu perbuatan yang masuk dalam aturan pidana umum dan diatur pula dalam pidana khusus, hanya yang khusus itulah yang diterapkan. Artinya, pembalak liar harusnya dihukum secara kumulatif. ”Tersangka pembalak liar juga harus dijerat UU Korupsi dan UU Pencucian Uang,” tegas Febri.
Pekan lalu, Polda Riau secara resmi mengumumkan penghentian penyidikan berkas perkara 14 perusahaan perambah hutan di Riau. Sinyalemen penghentian penyidikan belasan perkara pembalakan liar di Riau sendiri telah disampaikan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri dalam rapat kerja bersama DPR pada 10 Desember 2008.
Menurut Bambang, proses penyidikan 14 berkas perkara pembalakan liar di Riau telah berlangsung selama 22 bulan. Penghentian penyidikan, kata Bambang, karena adanya perbedaan persepsi antara pihak kepolisian dan kejaksaan. ”Titik berat perbedaan ada pada saksi ahli. Sehingga, pada akhirnya, kami harus memberikan kepastian hukum,” terang Bambang. Dikonfirmasi soal ini, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM Pidum), AH Ritonga, berkomentar singkat, ”Kalau memang tidak memenuhi unsur (berkas dikembalikan–Red).” Dri
Sumber: Republika Online