Kamis, 17/07/2008 00:41 WIB

Kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia hingga kini masih menjadi persoalan bangsa. Pemerintah memang tak berdiam diri. Sejumlah kebijakan telah dikeluarkan guna mengatasi masalah yang satu ini.

Aturan setingkat kebijakan presiden sampai menteri pun dilahirkan. Beberapa di antaranya seperti Inpres 4/2005 tentang mencegah dan memberantas penebangan dan peredaran kayu ilegal, kebijakan gerakan nasional rehabilitasi lahan dan hutan (GNRLH), sampai soal larangan ekspor kayu bulat.

Di bidang penegakan hukum, Kapolri, Jaksa Agung, dan Mahkamah Agung menginstrusikan jajarannya untuk menangani proses hukum kasus-kasus tindak pidana kehutanan secara serius agar pelakunya tak mudah lolos. Tak luput PPATK dan KPK pun kebagian job membantu penegakan hukum di bidang kehutanan.

Saatnya memang tugas melindungi hutan tak lagi menjadi tanggung jawab Departemen Kehutanan semata. Ibarat permainan sepak bola, tugas melindungi hutan harus mengadopsi gaya total football. Semua lini pemerintahan pun dilibatkan.

Selain lembaga-lembaga yang disebutkan di atas, perbankan adalah salah satu lini yang patut diandalkan dalam taktik total football melindungi hutan karena fungsinya sebagai pendukung keuangan. Selain itu, bank juga menjadi saluran yang menarik untuk bertransaksi karena mudah dan selalu ada di daerah, dimana pengusahaan hutan berlangsung.

Dalam memainkan perannya sebagai pendukung dana dan menjadi tempat yang mudah untuk bertransaksi dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya, bank sering tak sadar telah ikut memperlancar operasi-operasi penebangan hutan yang beberapa di antaranya dilakukan secara ilegal.

Bank juga menerima dan mendukung dana-dana besar untuk operasi pengusahaan hutan walaupun beberapa nasabahnya ‘dicurigai’ terlibat dalam mata rantai kejahatan kehutanan, seperti illegal logging. Buktinya, PPATK kerap melansir bahwa beberapa transaksi keuangan tak lazim (unusual transaction) yang ditemuinya terkait langsung dengan usaha kehutanan.

Perbankan di Indonesia juga pernah mengalami sejarah duka dalam investasi di sektor kehutanan. Alih-alih ingin meningkatkan perannya sebagai lembaga pendukung investasi, sejumlah besar kredit yang dikucurkan ke dalam sektor industri kehutanan berubah menjadi utang macet saat bkrisis keuangan melanda pada 1997.

Terdapat 128 pengutang yang tersebar di bank-bank swasta dan pemerintah yang terdiri dari perusahaan yang beroperasi di sektor kehutanan yang meliputi industri HPH, pengolahan kayu tanpa HPH, pengolahan kayu dengan HPH, dan industri pulp dan kertas. Nilai utang macetnya pun menggunung, yakni Rp21,9 triliun yang secara langsung berkaitan dengan investasi di sektor kehutanan.

Belajar dari pengalaman itu , perlu dibangun sebuah sistem yang secara hati-hati (prudently) dapat menilai (due dillegence) usaha-usaha di sektor kehutanan yang layak dan tidak terlibat dalam praktik-praktik usaha ilegal. Sistem itu dimaksudkan agar baik sektor kehutanan maupun bank dapat berinteraksi usaha dengan sehat tanpa merugikan keduanya.

 

Uji kenal

Dalam skala global, berbagai bank di dunia telah menyepakati dan mengadopsi prinsip yang dikenal dengan equator principle. Prinsip-prinsip ekuator memberikan rambu-rambu supaya bank-bank yang menyalurkan pendanaan di atas US$50 juta secara sukarela mengadopsi standar-standar pengelolaan lingkungan dan sosial berdasarkan standar-standar yang diberlakukan oleh International Financial Corporation (IFC).

Saat diluncurkan pertama kali, Juni 2003, prinsip-prinsip ekuator diadopsi hanya oleh 10 bank, sekalipun bank-bank yang mengadopsinya tahu bahwa hal itu hanya bersifat sukarela.

Saat ini bahkan lebih dari tiga kali lipat jumlah bank yang mengadopsinya, termasuk bank besar, seperti ABN AMRO Bank, Bank of America, Barclays, Citigroup, Credit Suisse Group, HSBC Group, ING Group, Rabobank Group, Standard Chartered Bank, dan The Royal Bank of Scotland.

Hal itu menunjukkan bahwa bank-bank besar di dunia sangat berminat untuk ikut menerapkan standar pengelolaan lingkungan dan sosial dalam pendanaannya. Bank-bank besar internasional itu pun berperan penting dalam sektor perbankan di Indonesia baik melalui cabangnya langsung maupun melalui kerja samanya dengan bank-bank nasional, terutama dengan tujuan melindungi hutan alam Indonesia dari ancaman kerusakan lebih lanjut.

Di Indonesia, prinsip-prinsip ekuator ini dapat diterapkan oleh Otoritas Keuangan dan Perbankan Indonesia dalam bentuk Prinsip-Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Prinsples/KYC) yang spesifik di sektor Kehutanan atau disebut KYC Kehutanan. KYC Kehutanan berfungsi sebagai suatu sistem untuk menilai kelayakan usaha calon nasabah, dan mengawasi serta mendeteksi transaksi keuangan setiap nasabah.

Beberapa kriteria yang dinilai dan diamati dalam sistem ini antara lain; ketaatan terhadap sistem pengelolaan hutan sesuai dengan peraturan yang berlaku, sumber bahan baku, sistem pengolahan limbah, pengamanan kebakaran lahan, dukungan terhadap masyarakat lokal, tidak terlibat penebangan dan perdagangan kayu ilegal, serta pemilik atau kelompok usaha yang tidak memiliki catatan buruk dalam usaha mengelola hutan.

Semua kriteria digunakan untuk menakar kemampuan, kapasitas, dan tingkat kepercayaan nasabah di mata bank sebelum pinjaman disetujui atau dalam mengawasi setiap transaksi. Penilaian dan pengawasan itu dimaksudkan untuk membantu menghindari terjadinya utang macet dan terjebaknya bank sebagai mata rantai kejahatan kehutanan.

Penerapan sistem itu perlu juga melibatkan para ahli hukum, kehutanan, dan lingkungan untuk membantu para pejabat bank yang kurang memahami masalah-masalah hukum, hutan, dan lingkungan.

Pada kondisi ideal, tanpa adanya intervensi dan main mata pejabat bank dengan pihak-pihak luar, sistem KYC Kehutanan akan memudahkan bank untuk; menyaring setiap pinjaman, mengawasi aktivitas keluar masuknya dana, dan memaksa para pelaku usaha kehutanan menerapkan sistem pengelolaan hutan lestari (sustanaible forest management) dalam mengelola hutan.

Hanya nasabah dengan reputasi baik dalam mengelola hutan yang akan difasilitasi. Penerapan KYC Kehutanan juga turut membangun citra dan reputasi positif bank di mata masyarakat, serta menjadikan perbankan Indonesia sebagai salah satu pemain utama dalam pengamanan dan perlindungan hutan di Indonesia.

Oleh Willem Pattinasarany

Anggota Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF)

Sumber: bisnis.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *