Pengantar
Berbagai aturan dan langkah hukum sudah dilakukan pemerintah untuk memberantas pembalakan liar (illegal logging) namun tampak sia-sia. Perangkat hukum yang ada belum bisa menyentuh pelaku utama dan membuat semua pihak yang terlibat menjadi jera. Hutan pun terus dibabat. Padahal, jika ada komitmen yang kuat dari pemerintah dan penegak hukum, praktik ilegal tersebut bisa dihentikan. Berikut ulasan wartawan SP Siprianus Edi Hardum.
Pemberantasan pembalakan liar (illegal logging) sudah dirintis sejak 1985 dengan dibentuknya Tim Koordinasi Pengamanan Hutan (TKPH). Kemudian muncul Keppres 22/1985 tentang Pembentukan Tim Pengamanan Hutan Terpadu (TPHT). Penebangan di luar Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah pelanggaran hukum dan didenda berdasarkan SK Menhutbun 315/KPTS-II/1999 tentang Tata Cara Pengenaan, Penetapan dan Pelaksanaan Sanksi atas Pelanggaran di Bidang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan.
Pada tahun 2000, dibentuk Tim Penanggulangan Penebangan Liar dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) 150/2000. Selanjutnya diterbitkan Instruksi Presiden (Inpres) 5/2001 tentang Pemberantasan Kayu Ilegal di kawasan Gunung Leuser. Untuk mempercepat pemberantasan pembalakan liar, pemerintah mengeluarkan Inpres 4/2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah RI.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk memberantas pembalakan liar, namun belum efektif. Untuk mengatasinya perlu komitmen semua pihak guna memberikan sanksi yang tegas dan berat bagi pelaku pembalakan liar. Dengan begitu, diharapkan ada efek jera bagi para pelaku pembalakan liar.
Menurut Koordinator Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF), Willem Pattinasarany, sudah saatnya menggunakan UU 15/2002 sebagaimana di rubah dengan UU 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dalam proses penyelidikan dan penyidikan perkara pembalakan liar. “Artinya, kejahatan di sektor kehutanan memiliki risiko terjadi pencucian uang sama halnya dengan kejahatan korupsi, perdagangan senjata, narkoba, dan terorisme,” kata Willem.
Dalam proses hukum ini, kata dia, Polri diharapkan dapat bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menyelidiki tran- saksi keuangan yang dilakukan antara tersangka, serta aset-aset tersangka yang terlibat dalam kasus pembalakan liar. “Ini penting dilakukan agar para tersangka dalam kasus ini dapat dijerat dengan UU Pencucian Uang,” kata dia.
Menurut PPATK, pencucian uang didefeinisikan sebagai proses atau tindakan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal uang atau aset yang diperoleh dari pidana yang dilanjutkan dengan mengubahnya menjadi aset yang seolah-olah berasal dari aktivitas bisnis yang legal.
Pelaku pembalakan liar biasanya menggunakan pencucian uang dengan memasukkan ke bank dalam jumlah kecil (placement), dan kemudian disamarkan (layering) dengan perpindahan atau transfer ke berbagai nama dan nomor rekening lain dan selanjutnya diinvestasikan (integration) ke dalam binis legal seperti hotel, jasa transportasi dan travel, dan dapat digunakan lagi dalam bisnis ilegal.
Menurut Willem, sedikitnya ada tiga UU dalam lingkup kehutanan dan lingkungan hidup yang digunakan dalam penanganan tindak pidana kehutanan, yakni UU 41/1999 tentang Kehutanan, UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU 5/1990 tentang Konservasi SumberDaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Hanya saja ketiga UU ini belum sanggup untuk menjamah para pelaku intelektual kejahatan kehutanan. Jika merujuk pada UU 4/1999 tentang Kehutanan, yang paling banyak terjerat adalah para pelaku lapangan seperti buruh tebang dan buruh angkut (masyarakat), dan pemilik jasa transportasi yang membawa dan atau memindahkan kayu hasil tebangan liar dari suatu tempat ke tempat lain. Mereka ini memang terbukti menduduki kawasan hutan, menebang, membawa, menguasai, memiliki, dan mengangkut hasil hutan tanpa izin yang sah (Pasal 50 ayat 3 UU 41/1999).
Permasalahan utama gagalnya penegakan hukum kasus pembalakan liar, katanya, adalah aktor intelektualnya terlalu kuat untuk ditembus hukum. Kekebalan pelaku penebangan liar karena keterkaitannya dengan institusi pemerintah dan oknum pejabat sipil maupun militer yang membekinginya. Penyelesaian kasus-kasus pembalakan liar di pengadilan pun selama ini hanya berakhir dengan penyitaan dan pelelangan hasil kayu tangkapan. Tak sedikit yang berakhir dengan putusan bebas karena kurangnya bukti keterlibatan.
Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, kinerja positif polisi dalam kasus pembalakan liar tidak berarti jika tidak dibarengi proses persidangan menjunjung asas keadilan. Ketidakberpihakan pengadilan dalam kasus pembalakan liar juga dinilai bermasalah sejak proses penuntutan oleh Kejaksaan. Sebagai contoh, Marthen Renouw divonis bebas karena pembuktian jaksa tidak kuat. Dia bahkan lepas dari jerat hukum karena jaksa terlambat mengajukan banding. Adelin Lis bebas karena jaksa tidak memasukkan pasal-pasal pencucian uang dalam dakwaan.
Pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, sangat jelas terlihat, perkara yang diajukan hingga level hukum tertinggi ini didominasi aktor kelas bawah, seperti petani, masyarakat lokal, sopir dan operator. Dengan kata lain, persoalan hukum bagi aktor utama cenderung “selesai” di daerah.
Menurut catatan ICW tahun 2005-2008, putusan pengadilan masih jauh dari harapan. Putusan terhadap pelaku kategori aktor utama termasuk cukong kayu sebanyak 85,71persen tidak berpihak pada pemberantasan pembalakan liar. Jumlah itu terdiri dari 71,43 persen divonis bebas, dan 14,29 persen putusan di bawah satu tahun. Sebagai catatan, tersangka cukong kayu yang kini ditahan Mabes Polri, yaitu Prasetyo Gow alias Asong adalah pemain lama pembalakan liar dan pernah divonis bebas tahun 2005.
Willem mengatakan, saat ini UU Pencucian Uang merupakan instrumen hukum yang tersedia untuk mengejar harta hasil kejahatan, termasuk harta hasil pembalakan liar. Uang dari pembalakan liar juga merupakan uang haram. Transaksi melalui bank yang dilakukan pelaku pembalakan liar akan dijadian fokus penyelidikan.
Menurut Willem, Dephut sebagai wakil pemerintah dalam mengelola sektor kehutanan di Indonesia bisa memainkan peran kunci sehubungan dengan masuknya bidang kehutanan dalam UU Pencucian Uang. Dephut wajib mendukung PPATK maupun polisi dalam implementasi UU Pencucian Uang guna mengatasi pembalakan liar. Kerja sama MoU antara Dephut dan PPATK sebisanya dapat berjalan efektif seperti pertukaran informasi, dan pembentukan gugus tugas bersama penanganan pembalakan liar dan pencucian uang.
Pihak ICW meminta Kapolri, agar menelusuri dugaan praktik korupsi/suap yang dilakukan cukong kayu dan kroninya terhadap pejabat pemerintah daerah, jaksa, hakim, pejabat dinas kehutanan, politikus lokal maupun militer, terutama dalam kasus di Ketapang, Kalbar dan Riau. Dalam konteks ini, pihak Polri perlu bekerja sama dan melibatkan intansi lain seperti KPK untuk unsur korupsi serta PPATK, TNI, dan instansi lainnya. Mabes Polri harus berani menindak tegas perwira tinggi di Mabes Polri yang diduga melindungi oknum perwira Polda Kalbar maupun para cukong kayu. “Langkah ini harus dimaknai sebagai upaya membersihkan institusi Polri dari oknum oknum yang tidak bertanggung jawab,” kata dia. *
Last modified: 28/4/08
Sumber: Suara Pembaruan Daily