Sabtu, 16 September 2006 08:18 WIB
EKONOMI – Ekonomi Makro
BATAM–MIOL: Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (WB) dinilai ambivalen terhadap perbaikan pengelolaan hutan di Indonesia.
Ambivalensi IMF maupun WB ditunjukkan dengan mendorong perbaikan tatakelola hutan di negeri ini, namun di sisi yang sama tidak mampu menggunakan pengaruhnya agar program-program yang disepakati dengan pemerintah dapat berjalan dengan lancar, kata Willem Pattinasarany, koordinator “Indonesian Working Group on Forest Finance” (IWGFF), di Batam, Jumat.
Peran IMF dalam membuat kondisi kehutanan masih seperti sekarang antara lain dimulai tahun setelah krisis moneter tahun 1997 dengan mewajibkan pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk menyehatkan perbankan nasional yang kolaps karena kredit macet, di antaranya akibat dari sektor kehutanan.
BPPN dengan menerima Rp234 triliun kredit dari luar negeri, mengambil alih seluruh kredit macet dari perbankan yang disehatkan, termasuk yang diakibatkan 128 industri kehutanan dengan jumlah Rp28 triliun.
Selain memperparah kondisi kehutanan dan ekonomi nasional, kebijakan IMF dan WB di bidang kehutanan menambah utang pemerintah sehingga membebani APBN dan meningkatkan defisit anggaran, ujar Pattinasarany dalam lokakarya “Indonesia Students Movement Against Debts” (ISMAD) bertalian dengan pertemuan “International Peoples Forum Vs IMF and WB”, 15-17 September.
Ia menilai, IMF dan WB bersama lembaga-lembaga keuangan pemberi kredit bagi pembangunan dan pengembangan industri kehutanan, secara sadar telah mendorong bertambahnya laju kerusakan hutan di Indonesia yang ditandai dengan maraknya pencurian dan perdagangan kayu ilegal.
Di sisi lain, sekalipun telah diberi banyak kemudahan dan direvitalisasi dengan penghapusan utang dan usaha yang dipermudah, industri kehutanan nasional tidak mampu mengembalikan hasil keuntungannya ke sektor kehutanan, malahan sebagian besar dari keuntungan mereka alihkan ke luar negeri.
Sekalipun saat ini BPPN telah ditutup dan Indonesia telah keluar dari kerjasama dengan IMF, namun kebijakan yang ambivalen juga sudah dipraktikkan oleh pemerintah, IMF dan WB terhadap tatakelola kehutanan di Indonesia.
Mereka di satu sisi seakan-akan berusaha menyelamatkan negara dari kebangkrutan ekonomi, namun tetap membiarkan para pengutang kelas kakap terus berkeliaran dan melebarkan sayap usahanya.
Di samping itu, ujar Pattinasarany, walaupun lewat “Consultative Group on Indonesia”, IMF da WB mendesak pemerintah (Departemen kehutanan) untuk mengembangkan 11 kebijakan, namun IMF dan WB tidak mampu mengkoordinasikan seluruh “stake holder” untuk merealisasikannya sehingga koordinasi antarlembaga di pemerintah pusat maupun daerah tidak lancar.
Salah satunya ditunjukkan dengan keterlibatan yang sangat terbatas dari menteri kehutanan dalam pengambilan keputusan atas penjualan aset kehutanan di BPPN, bahkan yang terlihat adalah para ekonom WB dan IMF yang menentukan kebijakan pembangunan sektor kehutanan di Indonesia. (Ant/OL-01).
Sumber: Media Indonesia Online