Kepala Polri yang baru Jenderal Polisi Sutanto setelah dilantik memastikan pemberantasan illegal logging terus dilaksanakan dan akan terus memburu pelakunya. Entah sampai kapan pemburuan itu berlangsung, yang jelas bersama Menteri Kehutanan MS Kaban kedua petinggi negara ini mengatakan akan segera melanjutkan Operasi Hutan Lestari II (OHL II) yang sudah berakhir dengan Operasi Hutan Lestari III. OHL III akan digelar pada bulan Agustus 2005 dan targetnya adalah daerah Sumatera dan Kalimantan.

Ironisnya, setelah OHL II selesai hanya terdengar ditangkapnya sejumlah pelaku, dan penyitaan barang bukti. Sampai saat ini belum jelas diketahui apakah ada pelaku yang sudah disidangkan. Mungkin karena lamanya proses penyidikan dan pelimpahan perkara ke pengadilan atau benar-benar aparat kepolisian dan kejaksaan kesulitan dalam menjerat para pelaku tersebut.

Menurut Willem Pattinasarany dari Indonesian Working Group on Forest Finance [IWGFF], ini memang sulit; karena Polisi dan Jaksa benar-benar harus cermat dalam menjerat pelaku [Cukong Kayu]. Para pelaku yang telah ditangkap itu sulit dibuktikan keterlibatannya karena pada umumnya mereka tidak memegang barang bukti, atau jarang tertangkap tangan memegang barang bukti. Mereka hanya menjadi target operasi, karena itu terus diburu dan ditangkap berdasarkan informasi yang ada, atau informasi dari pelaku lain yang lebih dulu tertangkap.

Kelemahannya, perangkat hukum yang dipakai dalam menjerat pelaku illegal logging hanya satu yaitu UU 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Undang-undang ini mengharuskan adanya bukti-bukti keterlibatan para cukong dalam membawa, menguasai dan memiliki kayu hasil tebangan yang illegal, atau memasuki, menebang, membawa alat berat, ke dalam kawasan hutan secara tidak sah. Dengan ketentuan ini nyaris tidak satupun para cukong akan dihukum karena mereka tidak melakukan semua itu, apalagi becking, broker kayu, dan Politically Exposed Person/PEP (pejabat sipil dan non sipil) yang mendukung illegal logging tidak akan tersentuh jika hanya UU Kehutanan yang digunakan.

Karena itu gunakan perangkat hukum yang berlapis untuk menjerat pelaku, baik cukong, becking maupun pejabat (PEP) yang mendukung, seperti yang pernah dilontarkan oleh Menhut MS Kaban sayangnya belum terlihat pelaksanaannya. Perangkat hukum yang dapat dipakai adalah UU Korupsi jika terjadi suap, UU Perpajakan jika tidak membayar pajak, dan UU Pencucian Uang. Khusus UU Pencucian Uang, peluangnya sangat besar karena sudah memasukan kejahatan kehutanan sebagai kejahatan yang bisa melahirkan pencucian uang. Karena itu pelaku illegal logging dapat didakwa melakukan pencucian uang. Salah satu bukti yang dapat menghukum mereka adalah uang hasil kejahatannya itu. Setiap rekening pelaku dapat diselidiki dan jika terdapat transaksi yang tidak wajar (unusual transaction) mereka diminta membuktikannya. Dalam proses ini PPATK sebagai badan anti pencucian uang di Indonesia akan bekerjasama dengan penyidik untuk meyelidikinya.

Menurut Willem, penggunaan hukum pencucian uang sudah bisa dilakukan dalam penyelidikan terhadap hasil OHL II karena sudah ada informasi/data, dan barang bukti yang ditemukan, serta pelaku yang telah diperiksa. Sedangkan dalam OHL III nanti sejak awal lebih baik menggunakan pendekatan hukum pencucian uang untuk menyelidiki kejahatan keuangan pelaku selain menggunakan UU Kehutanan untuk melihat tindak pidana illegal loggingnya.

Dalam penyelidikan ini, ada beberapa institusi kunci yang berperan yaitu Departemen Kehutanan, PPATK, POLRI, Perbankan, dan pelaku di lingkungan industri lain yang terlibat (seperti Asuransi, Money Changer, Bappem, dll). Apalagi sudah ada kerjasama antara PPATK dan Departemen Kehutanan (MoU Maret 2005), dan MoU antara PPATK dengan Polri (Juni, 2004). Departemen Kehutanan punya sejumlah data dan informasi tentang pelaku hasil OHL II yang bisa diserahkan ke PPATK. Dengan bantuan Dephut dan PPATK, Polisi akan bekerja untuk menyelidiki informasi yang disampaikan. Semua pelaku yang terjerat dalam OHL II akan selidiki rekeningnya untuk menelusuri transaksi atau pemindahan/transfer dana pelaku. Polisi juga bisa menelusuri bisnis lain yang dicurigai merupakan hasil investasi yang dilakukan oleh pelaku misalnya bisnis perkebunan/HTI, resort, atau bisnis jasa transportasi. Pada semua kegiatan penyelidikan ini, PPATK dan Polisi akan meminta perbankan dan pelaku industri lain yang terlibat untuk bekerjasama memberikan informasi yang diperlukan.

Jika hal ini tidak dilakukan maka hanya ada satu kendala yaitu pelaku-pelaku kunci tersebut tidak ingin berkordinasi, dan enggan menggunakan hukum pencucian uang dalam kasus-kasus illegal logging karena akan menjerat banyak pihak yang terlibat.

Menggunakan UU Pencucian Uang terhadap hasil OHL II maupun OHL III sebenarnya menguntungkan pemerintah dalam dua tataran. Pada tataran nasional terbuka peluang untuk penegakan hukum (law enforcement) di bidang kehutanan bisa dilaksanakan, dan pada tataran internasional Indonesia lebih dikuatkan posisinya pada system moneter internasional dan di mata Financial Action Task Force on Money Laundering/FATF setelah dikeluarkan dari daftar hitam negara-negara yang tidak kooperatif (Non Cooperative Countries and Territories/NCCTs) karena penegakan hukum pencucian uang bisa diterapkan. Indonesia diharapkan bisa menjadi negara pertama yang menggunakan hukum pencucian uang pada tindak pidana di bidang kehutanan.

Berdasarkan apa yang kami sampaikan di atas, IWGFF mendesak:

  1. PPATK, Departemen Kehutanan, Polisi, Kejaksaan, dan Hakim untuk segera bekerjasama menggunakan hukum pencucian uang dalam penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus tindak pidana di bidang kehutanan khususnya illegal logging
  2. Tim Operasi Hutan Lestari II agar menindaklanjuti hasil-hasil penyelidikan dan penyidikannya dengan menggunakan Undang-Undang Pencucian Uang.
  3. Pemerintah agar memasukan PPATK, dan Otoritas Perbankan Nasional ke dalam Tim Operasi Hutan Lestari III yang akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2005 untuk memudahkan kordinasi dan kerjasama dalam rangka penggunaan hukum pencucian uang.
  4. Komisi III dan IV DPR, Presiden, dan Komisi Kordinasi Nasional Anti Pencucian Uang diharapkan mendukung penggunaan hukum Pencucian Uang dalam kasus illegal logging.

Jakarta, 18 Juli 2005
Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF)

Willem Pattinasarany
Koordinator
Kontak : 0815 8642 6308

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *