Sekalipun peringkat bank nasional naik dibanding bank asing, tapi masih ada jarak antara laporan kinerja ESG dengan fakta di lapangan. Indeks investasi hijau ini perlu diintegrasikan sebagai sistem pengawasan OJK dan penilaian risiko bank.
Ady Thea DA 16 Desember 202
Masyarakat sipil sangat berkepentingan memastikan kucuran dana yang disalurkan bank kepada korporasi digunakan untuk investasi berkelanjutan. Salah satu upaya yang dilakukan Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF) yakni merilis Indeks Investasi Hijau III 2025. Peneliti IWGFF, Marius Gunawan, menjelaskan dalam beberapa tahun sebelumnya IWGFF juga rutin menerbitkan indeks serupa dan kali ini yang ketiga.
Intinya, laporan independen ini menilai kinerja lingkungan, sosial dan tata Kelola (Environment Social and Governance/ESG) dari 13 bank nasional dan asing ini. Hasil tahun 2025 menunjukkan pencapaian signifikan bank-bank nasional untuk pertama kalinya unggul di sebagian besar kategori, menggeser bank asing yang sebelumnya mendominasi sejak 2018.
“Kita harapkan indeks ini bisa digunakan publik dan regulator keuangan sebagai alat pengawas. Ini sebagai partisipasi kami dalam proses sustainable development atau green financial,” kata Marius dalam peluncuran Buku Index Investasi Hijau III; Sektor Perbankan pada Industri Berbasis Lahan Tahun 2025 di Jakarta, Senin (16/12/2025) kemarin.
Dari 13 bank yang dievaluasi, sebanyak 8 bank nasional menduduki posisi papan atas Indeks Investasi Hijau III. Peringkat ini menggeser dominasi bank asing yang selalu bertengger di peringkat atas. Sementara tahun ini posisi bank asing dalam indeks tergolong stagnan. Salah satu kebijakan yang mendongkrak peringkat bank nasional yakni komitmen ESG sebagai bagian dari strategi BUMN.
Marius mengatakan 13 bank yang dipilih untuk masuk dalam indeks yaitu bank yang dinilai mewakili investasi. Dilihat dari besarnya dana investasi yang diberikan dan dampaknya terhadap finansial di Indonesia. Skor yang tercantum dalam indeks adalah hasil mengolah data laporan tahunan 2024 dan laporan keberlanjutan. Data tersebut dibahas dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan akademisi, regulator, dan organisasi masyarakat sipil.
Dalam periode 2018-2025 terjadi pergeseran dimana indeks papan atas awalnya didominasi bank asing atau internasional. Menurut Marius, kala itu otoritas di Indonesia seperti OJK dan pemerintah masih membangun sistem. Setelah sistem terbangun, bank nasional mulai mengikuti dan ujungnya mendapat nilai yang baik di sektor ESG. “Jadi kita melihat untuk membangun sustainable development butuh dukungan regulasi dan kebijakan OJK,” ujarnya.
Marius berharap prosesnya tak berhenti disini, sebab berdasarkan hasil pemantauan ditemukan aliran dana bank masih digunakan untuk investasi pada sektor yang berkontribusi merusak lingkungan hidup dan menyebabkan konflik sosial. Seperti sawit, tambang, dan kehutanan.
Sayangnya, fakta di lapangan itu tidak masuk dalam laporan tahunan dan laporan keberlanjutan yang dibuat bank. Laporan itu seolah hanya pemanis yang diberikan kepada investor bank. Selain perbedaan antara laporan dengan fakta di lapangan, Marius juga mencatat penerapan prinsip Free, Prior, Informed Consent (FPIC) lemah dan tidak konsisten. Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RKAB) sebatas kuat di atas kertas, tapi implementasinya rendah. Transparansi data juga sangat terbatas.
Marius membeberkan sulitnya mengakses data dengan alasan rahasia bank. Misalnya, data terkait investasi spesifik seperti perusahaan mana saja yang menerima pendanaan untuk investasi di sektor hutan, lahan dan pertambangan. “Ini yang jadi catatan kita skor indeks naik, tapi aliran modal tidak bergerak sesuai komitmen hijau jadi ini gap dan tantangan kita bersama,” timpalnya.
Sebelumnya, Direktur Keuangan Berkelanjutan OJK, R Joko Siswanto, mengatakan OJK dalam tahap mengembangkan Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) versi ketiga atau complete version untuk transisi menuju nol emisi karbon bagi sektor pertanian dan kehutanan, sektor manufaktur hingga sektor pengolahan limbah. “Akan terbit pada awal tahun 2026,” ujarnya sebagaimana dikutip laman Antara.
Joko menjelaskan TKBI merupakan salah satu upaya OJK untuk menghadirkan bridging policy atau kebijakan yang menjembatani transisi ke industri keuangan yang berkelanjutan. Targetnya mencapai transisi sektor keuangan untuk mewujudkan nol emisi karbon tahun 2060.
