OLEH: Marius Gunawan – Forest & Environmental Expert (IWGFF)

 

Dari Wacana Lama ke Prioritas Baru

RUU Perampasan Aset akhirnya masuk Prolegnas Prioritas 2025. Sebuah langkah yang sudah lama ditunggu, mengingat korupsi dan kejahatan ekonomi di Indonesia tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menggerogoti kepercayaan publik terhadap hukum. Namun, masuk daftar prioritas hanyalah awal. Pertanyaan besarnya tetap sama: bisakah RUU ini benar-benar disahkan, dan yang lebih penting lagi, apakah ia dirumuskan dengan adil serta mampu menjadi senjata ampuh untuk pemberantasan korupsi?

Gagasan perampasan aset sebenarnya bukan barang baru. Lebih dari satu dekade lalu, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sudah menyusun naskah akademik yang menawarkan mekanisme perampasan sipil atau non-conviction based (NCB). Mekanisme ini dirancang untuk menjerat aset yang jelas-jelas berasal dari tindak pidana, meski pelaku tidak bisa dijerat pidana. Namun, setiap kali wacana ini masuk ke meja pembahasan, ujungnya sama: tertunda, terganjal kepentingan politik, atau sekadar dibiarkan. Baru pada 2025 inilah isu tersebut kembali mengemuka, kali ini dengan label prioritas.

 

Apa Itu Perampasan Aset?

Pada intinya, undang-undang ini memberi negara kewenangan untuk mengambil alih aset yang menjadi hasil atau alat kejahatan, baik melalui putusan pidana maupun lewat mekanisme sipil. Tujuannya sederhana tetapi krusial, yakni memutus insentif ekonomi dari kejahatan dan mengembalikan kerugian negara. Dengan kata lain, pelaku kejahatan harus dipastikan tidak lagi bisa menikmati hasil dari tindakannya.

Draf RUU yang beredar memuat beberapa hal penting, mulai dari jalur perampasan pidana dan non-conviction based, mekanisme pembekuan aset, aturan perlindungan terhadap pihak ketiga, hingga pengelolaan aset rampasan. Meski begitu, detail finalnya masih menunggu pembahasan di DPR. Di sinilah letak tantangan besar, sebab setiap pasal yang lahir akan menentukan apakah RUU ini akan menjadi instrumen pemberantasan korupsi yang efektif atau justru alat baru bagi penyalahgunaan kekuasaan.

 

Belajar dari Pengalaman Negara Lain

Pengalaman internasional menunjukkan betapa efektifnya perampasan aset jika diatur dengan jelas. Inggris memiliki Proceeds of Crime Act yang memungkinkan negara menyita aset hasil kejahatan dengan prosedur ketat. Irlandia pun dikenal dengan reformasi Criminal Assets Bureau yang berhasil memutus aliran dana kriminal.

Namun, keberhasilan ini bukan tanpa risiko. Banyak kritik yang menyebut bahwa mekanisme NCB, dengan standar bukti lebih rendah, rawan menabrak prinsip due process of law. Dalam praktiknya, pembekuan aset tanpa batas waktu dapat membuat tersangka tidak mampu membayar pengacara. Ada pula risiko penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum, menjadikan perampasan aset sebagai alat politik, bukan hukum. Dan jangan lupakan satu hal krusial: pengelolaan aset yang tidak transparan. Jika aset rampasan dibiarkan menganggur atau hilang nilai, publik akan bertanya, untuk apa semua ini?

 

Apa yang Harus Dijamin dalam RUU Ini

Karena itu, ada sejumlah hal yang wajib dijamin dalam RUU ini. Standar pembuktian harus ditegaskan dengan jelas, tidak boleh hanya mengandalkan kecurigaan. Perlindungan bagi pihak ketiga yang beritikad baik juga harus menjadi prioritas, sebab sering kali aset berada di tangan keluarga atau rekan yang tidak terlibat dalam tindak pidana.

Batas waktu pembekuan perlu diatur ketat agar tidak mengorbankan hak pembelaan. Akses dana pembelaan bagi tersangka harus dijamin, agar prinsip keadilan tidak mati di meja hukum. Dan yang tidak kalah penting, pengelolaan aset rampasan harus ditangani oleh badan profesional yang transparan dan diaudit secara independen. Tanpa mekanisme ini, perampasan aset hanya akan menimbulkan masalah baru, bahkan lebih besar dari yang ingin diselesaikan.

 

Kasus Konkret: Seandainya Sudah Ada

Sejumlah kasus besar bisa memberi gambaran betapa pentingnya UU ini. Skandal BLBI yang merugikan negara hingga lebih dari Rp100 triliun meninggalkan banyak aset yang tidak pernah kembali. Kasus Jiwasraya dan Asabri juga menimbulkan kerugian belasan hingga puluhan triliun rupiah, dengan banyak aset yang sulit ditarik kembali karena berkelindan dengan perusahaan cangkang dan pihak ketiga.

Seandainya UU Perampasan Aset sudah berlaku sejak dulu, negara punya landasan hukum lebih kuat untuk segera membekukan dan mengambil alih aset-aset tersebut, tanpa menunggu proses pidana yang sering berlarut-larut. Dampaknya bukan hanya pada pemulihan kerugian negara, tetapi juga pada efek jera: koruptor tahu bahwa apa pun yang mereka sembunyikan pada akhirnya bisa kembali ke tangan negara.

 

Simulasi: Bagaimana Mekanismenya?

Bayangkan seorang pejabat terbukti menerima suap miliaran rupiah. Begitu kasus ini tercium, aparat dapat langsung mengajukan pembekuan aset berupa rumah mewah dan rekening bank yang nilainya mencurigakan. Pembekuan ini dilakukan sementara sambil menunggu putusan pengadilan.

Jika pengadilan pidana menyatakan pejabat tersebut bersalah, aset itu langsung dirampas negara. Tetapi bahkan jika terdakwa lolos dari jerat pidana karena bukti kurang, mekanisme NCB memungkinkan negara tetap mengajukan gugatan perdata untuk membuktikan aset tersebut berasal dari tindak pidana. Jika pengadilan menyetujui, aset resmi menjadi milik negara.

Selanjutnya, aset rampasan tidak dibiarkan terbengkalai. Rumah mewah bisa dilelang, rekening bank masuk ke kas negara, sementara sebagian dana dialokasikan untuk pendidikan antikorupsi atau pemulihan kerugian masyarakat. Publik pun bisa mengakses laporan tahunan yang diaudit independen untuk melihat berapa nilai aset yang berhasil dirampas dan bagaimana penggunaannya.

Dengan mekanisme semacam ini, pesan yang ingin disampaikan jelas: kejahatan tidak ada untungnya. Tidak ada tempat bagi uang haram untuk bersembunyi.

 

Peran Publik dalam Mengawal

Pertanyaannya kemudian, bagaimana publik bisa ikut mengawal proses ini? Di sinilah peran masyarakat dan media menjadi sangat vital. Draft RUU harus terbuka untuk umum, bukan hanya untuk segelintir elit politik. Diskusi publik perlu digelar agar berbagai perspektif, termasuk dari kalangan akademisi, LSM, praktisi hukum, hingga masyarakat sipil, bisa masuk dalam pembahasan.

DPR harus didorong menghadirkan pakar internasional yang sudah berpengalaman dalam merumuskan perampasan aset. Dan ketika UU ini nanti berjalan, laporan berkala soal jumlah dan pemanfaatan aset rampasan harus diumumkan ke publik. Tanpa keterbukaan, RUU ini berpotensi menjadi macan kertas belaka.

 

Antara Angka dan Realitas

Kita tentu paham, korupsi di Indonesia sudah masuk kategori grand corruption. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2024 masih bertengger di angka 34 dari 100 menurut Transparency International, jauh di bawah Singapura yang mencapai 83. Kerugian negara akibat korupsi juga tidak kecil. Laporan ICW menyebut potensi kerugian negara pada 2023 mencapai lebih dari Rp45 triliun. Angka ini hanyalah puncak gunung es, sebab banyak kasus yang tidak pernah sampai ke pengadilan.

Tanpa mekanisme perampasan aset, para koruptor selalu punya celah untuk tetap hidup nyaman dengan uang hasil curian, bahkan setelah menjalani hukuman penjara. Mereka yang seharusnya menanggung akibat justru bisa kembali ke masyarakat dengan kantong tetap tebal.

 

Antara Hukum dan Keadilan

Sejarah membuktikan, hukum hanya bisa bekerja jika ditegakkan dengan adil. Cicero pernah berkata, “Salus populi suprema lex est”, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Namun, keselamatan itu tidak boleh diperoleh dengan mengorbankan hak-hak dasar warga yang tidak bersalah.

Itulah dilema sekaligus tantangan yang harus dijawab oleh RUU Perampasan Aset. Ia harus menjadi instrumen yang tajam untuk memangkas kejahatan ekonomi, tetapi tidak boleh berubah menjadi parang tumpul yang justru melukai rakyat biasa.

 

Jalan Panjang yang Harus Dikawal

Dengan segala kompleksitasnya, RUU Perampasan Aset adalah ujian besar bagi DPR, pemerintah, dan kita semua. Apakah kita benar-benar serius memberantas korupsi, atau hanya ingin menambah catatan panjang wacana tanpa eksekusi? Publik tidak boleh hanya menjadi penonton. Mengawal, mengkritisi, dan menuntut transparansi adalah cara paling nyata untuk memastikan undang-undang ini tidak sekadar berhenti di kertas, tetapi benar-benar hadir sebagai senjata baru dalam perang melawan korupsi.

Seperti kata Bung Hatta, “Korupsi sudah menjadi budaya, dan untuk memberantasnya diperlukan revolusi mental.” RUU Perampasan Aset bisa menjadi salah satu langkah revolusi itu. Namun tanpa keberanian moral dan pengawasan publik, ia akan kembali hanyut dalam arus politik pragmatis. Kini, bola sudah di tangan DPR. Masyarakat hanya menunggu, apakah mereka akan menendangnya ke gawang, atau sekadar menggiringnya ke luar lapangan. *** MG

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *