Harmoko

Penulis Penuh Tanya

30 Juli 2025   17:34 Diperbarui: 30 Juli 2025   17:34

 

Transisi menuju ekonomi hijau bukan sekadar jargon konferensi atau slide PowerPoint dalam rapat direksi. Ini adalah panggilan zaman. Sayangnya, laporan Indeks Investasi Hijau II yang diluncurkan Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF) dan Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa bank-bank nasional masih setengah hati dalam merespons panggilan ini. Mereka mungkin menyalakan lampu hijau di laporan keberlanjutan, tapi di ruang pengambilan keputusan, warna yang dominan tampaknya masih kuning—tunggu dulu, lihat nanti.

Padahal, sektor perbankan adalah lokomotif ekonomi. Uang yang mereka salurkan akan menentukan rel mana yang dilalui: rel batu bara atau rel energi terbarukan, rel konservasi atau rel konversi hutan. Dalam laporan tersebut, 13 bank dikaji dari lima indikator—dari pengelolaan risiko sosial-lingkungan hingga kemitraan dan rencana aksi. Hasilnya? Mayoritas bank masih lebih nyaman bermain di zona aman administratif, seperti menyusun dokumen keberlanjutan yang rapi, tetapi tanpa nyali untuk mengubah portofolio pembiayaan secara substansial.

 

Antara Ketaatan dan Keberanian

Willem Pattinasarany dari IWGFF menyebut fenomena ini sebagai “jarak antara kepatuhan administratif dan perubahan substansial”. Kita tahu, membuat laporan ESG (Environment, Social, Governance) bisa dikerjakan dengan konsultan, template, dan deadline. Tapi merombak prioritas pembiayaan agar berpihak pada lingkungan? Itu butuh keberanian. Butuh ketegangan di ruang rapat. Butuh tekad untuk bilang “tidak” pada proyek tambang yang menawarkan bunga tinggi tapi menggerus hutan lindung.

Dari sisi teknis, Marius Gunawan menambahkan bahwa banyak bank belum mengadopsi prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent). Artinya, masyarakat terdampak belum dilibatkan secara bermartabat dalam proses pembiayaan sektor berbasis lahan. Tak hanya itu, sebagian besar bank bahkan enggan mempublikasikan Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan mereka. Transparansi? Masih terganjal ketakutan akan reputasi, atau sekadar takut ketahuan belum siap.

 

Hijau Jadi Gimmick

Sangat mungkin, dalam banyak rapat pemasaran, kata “hijau” lebih sering muncul di desain brosur ketimbang di proposal kredit. Obligasi hijau memang sudah diterbitkan beberapa bank, proyek energi terbarukan sudah didanai, tapi porsinya ibarat garnish di piring restoran mahal: cantik, tapi tidak kenyang. Mayoritas portofolio kredit masih tersedot ke sektor berbasis lahan yang berisiko tinggi terhadap lingkungan. Itulah ironi terbesar dalam ekosistem keuangan hijau kita: nama boleh “sustainability”, isinya “opportunity without accountability”.

Sikap reaktif—seperti disorot oleh peneliti Derry Wanta—juga menandai bahwa perubahan masih dikemudikan oleh tekanan eksternal, bukan kesadaran internal. Kita menyaksikan banyak bank baru ‘beraksi’ ketika regulator menurunkan aturan atau ketika investor luar negeri mulai mempertanyakan ESG score. Belum ada urgency yang tumbuh dari dalam, dari rasa tanggung jawab terhadap generasi mendatang.

 

Jangan Hanya Regulasi, Tapi Juga Insentif

Tentu, kita tidak bisa hanya menunjuk perbankan tanpa menyentil regulator. Rekomendasi IWGFF yang mendorong regulasi lebih kuat dan transparansi wajib adalah langkah penting. Namun perlu diingat, tongkat butuh wortel. Diperlukan insentif fiskal yang nyata bagi investasi hijau. Apresiasi bagi bank yang konsisten menyalurkan pembiayaan berkelanjutan harus lebih dari sekadar sertifikat atau piagam di lobby kantor.

Bayangkan jika pemerintah bisa menurunkan pajak untuk setiap rupiah kredit hijau yang disalurkan. Atau OJK memberi rating khusus yang membuat bank dengan portofolio hijau unggul dalam kompetisi pasar. Ini bukan mimpi, tapi strategi. Karena transisi hijau bukan hanya soal moral, tapi juga soal pasar yang cerdas.

 

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Sebagai masyarakat, kita juga punya peran. Nasabah kini bisa bertanya pada bank tempatnya menabung: “Ke mana uang saya disalurkan?” Apakah untuk membiayai PLTU atau PLTS? Apakah mendukung reklamasi yang menggusur, atau konservasi yang menyelamatkan? Tekanan konsumen, jika terorganisir, bisa menjadi kekuatan luar biasa.

Kita juga bisa mendukung gerakan literasi keuangan berkelanjutan agar tidak hanya elit yang paham soal ESG, tetapi juga petani, guru, nelayan, hingga mahasiswa. Bank akan berubah bukan karena takut pada NGO atau regulator, tapi karena tahu bahwa publik sudah cerdas dan tak bisa lagi dibungkus daun pisang hijau plastik.

 

Penutup

Transisi hijau membutuhkan keberanian untuk melepas kenyamanan lama dan memeluk ketidakpastian masa depan dengan komitmen. Bank nasional kita belum gagal, tapi belum juga lulus. Mereka masih duduk di bangku tengah: tak berani jadi pelopor, tapi enggan disebut tertinggal. Jika mereka ingin jadi agen perubahan, maka saatnya pindah tempat duduk. Bukan di tengah. Tapi di depan. Untuk bumi, untuk masa depan, dan untuk generasi yang akan bertanya: “Apa yang kau dan bankmu lakukan ketika bumi mulai sakit?”

Sumber: https://www.kompasiana.com/harmoko4665/6889b5afc925c46b584c56c2/hijau-di-laporan-abu-abu-di-aksi-ketika-bank-nasional-takut-kotor-tangan-untuk-bumi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *